Virus Corona: Problematika Shalat Dzuhur tak Berdalil
Penulis: Agus Muchsin (Dosen IAIN Parepare)
OPINI—- Menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu dalam terminologi bahasa Arab adalah al imsak (الامساك), padanan kata yang biasanya digunakan untuk memaknai al shiyam (الصيام), artinya puasa. Social Distancing merupakan bentuk pengendalian diri (الامساك), mengurangi jumlah aktivitas di luar rumah dan interaksi sosial dengan orang lain.
Makna lain dari kata tersebut dapat disepadankan dengan term al shabr (sabar), sehingga pengendalian diri menyikapi ujian virus covid 19, sehingga dianjurkan bersabar untuk menghidari tempat ramai didatangi antara lain, supermarket, pasar, rumah ibadah, stadion dan lain-lain.
Eksistensi MUI sebagai bagian integral dari lembaga keagamaan di Indonesia pun turut berkontribusi dengan mengeluarkan fatwa Nomor 14 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Ibadah dalam Situasi Terjadi Wabah Covid- 19 agar melaksanakan shalat dzuhur di rumah.
Dilemanya adalah interpretasi jama’ah terhadap fatwa pun berbeda. Ada yang menerimanya sebagai larangan dan ada pula yang menerima sebagai himbauan. Jelasnya untuk daerah zona merah di terima sebagai larangan, sebaliknya bagi zona aman virus covid 19 dianggapnya sebagai himbauan. Konsekuensi dari corak pemahaman pun melahirkan sikap berbeda. Ada yang jum’atan dan ada yang memilih untuk shalat dzuhur.
Menariknya, fenomena shalat dzuhur pasca dikeluarkannya fatwa MUI pun mengundang kontra di kalangan jama’ah. Ketika ada yang menyampaikan bahwa di salah satu mesjid melangsungkan shalat dzuhur secara berjama’ah, yang menurut keterangannya dilaksanakan sejumlah jama’ah, hampir memenuhi mesjid.
Langkah ini salah dan perlu diberi penjelasan bahwa esensi fatwa adalah himbauan menghindari interaksi langsung dengan melaksanakan shalat dzuhur di rumah. Hal ini dikeluarkan bukan karena alasan pertimbangan rasio semata, melainkan terdapat keterangan dalam HR. Bukhari dan Muslim dalam pembahasan adzan.
وفي حديث ابن عمر رضي الله عنهما في الصحيحين واللفظ لمسلم ـ:كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يأمر المؤذن إذا كانت ليلة باردة ذات مطر، يقول: «ألا صلوا في الرحال
Artinya:
Dalam Hadits Ibnu Umar ra atasnya, dalam dua kitab Sahih, yang dafadznya dari Muslim. Adalah Rasulullah saw memerintahkan mu’adzin, jika datang malam yang begitu dingin karena hujan untuk berseru, shalatlah kalian di rumah. (HR. Bukhari/Muslim)
Fatwa MUI pada dasarnya menggunakan metode istinbath al hukum dengan menganalogikan (القياس العلة) problem pemutusan mata rantai virus dengan hawa dingin, sebagai illat yang dijadikan alasan untuk shalat di rumah. Meski illatnya tidak persis sama, namun illat virus covid lebih fatal, sehingga dikategorikan sebagai qiyas al a’ala (القياس الاعلي).
Seruan dalam adzan adalah shalat di rumah, namun jika ketika sudah berada di mesjid dengan kapasitas jama’ah mensyaratkan untuk melaksanakan shalat Jum’at maka wajib hukumnya untuk melaksanakan. Esensi efek hukum dalam fatwa adalah menghindari tempat ramai dikunjungi. Karena itu, af’al mukallaf (perbuatan hukum) dengan datangnya ke mesjid sudah melenceng dari esensi syar’i (asrar al syar’iyah) maka tidak ada alasan untuk tidak melaksanakan shalat Jum’at.
Dengan demikian, pelaksanaan shalat Jum’at atas kondisi seperti dideskripsikan, dasar hukumnya dikembalikan pada hukum asalnya yakni wajib, seperti dalam QS. al Jum’ah:9
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا نُودِىَ لِلصَّلَوٰةِ مِن يَوْمِ ٱلْجُمُعَةِ فَٱسْعَوْا۟ إِلَىٰ ذِكْرِ ٱللَّهِ وَذَرُوا۟ ٱلْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Terjemahnya:
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Keterangan lain juga ditemukan melalui Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim.
عن طارق بن شهاب رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «الجمعة حق واجب على كل مسلم في جماعة إلا أربعة: عبد مملوك أو امرأة أو صبي أو مريض» قال النووي: إسناده صحيح على شرط البخاري ومسلم.
Artinya:
Dari Thariq bin syihab ra. dari Nabi Muhammad saw bersabda: Shalat Jum’at secara berjama’ah adalah wajib bagi setiap muslim terkecuali, hamba/budak, wanita, anak sebelum baligh dan orang sakit. Imam al Nawawi berkata: sanad hadis ini shahih berdasarkan kriteria syarat oleh Imam Bukhari dan Muslim.
Demikian keterangan singkat ini, akhirnya hanya Allah swt yang lebih tahu (والله اعلم بالصواب). (*)
BY HAYANA | MARCH 20, 2020 | FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM . OPINI | 0 COMMENTS |
Hayana
Berawal dari Belajar, Berakhir dengan Amal (@hayanaaa)
Previous
OPINI: PANDEMI DIANTARA NALAR DAN PROAKTIF
Next
OPINI : COVID-19 DARI WUHAN MENYOSOR EKONOMI INDONESIA
v
19 Maret, 2020
oleh
webadmin1
di dalam Berita
webadmin1
19 Maret 2020
Label
blog kami
Arsip
Baca Berikutnya
Revisi Peraturan Akademik dalam Proses Perampungan
Virus Corona: Problematika Shalat Dzuhur tak Berdalil