Salah satu komitmen Kementerian Agama Republik Indonesia adalah Ikhlas Beramal. Namun pengejewantahan nilai dan makna Ikhlas beramal dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai ASN Kemenag RI tidak semudah mengucapkannya.
Tulisan ini terinsprirasi dari diskusi salah satu teman di Whatsapp Grup (WAG) yang berawal dengan adanya efisiensi anggaran yang implikasi terhadap program dan pengembangan mutu perguruan tinggi. Beberapa keluhan yang di alami memang sedikit menghambat pelaksanaan tridarma perguruan tinggi baik pendidikan, penelitian maupun pengabdian masyarakat.
Akan tetapi slogan Ikhlas beramal kemudian muncul dalam diskusi WAG tersebut. Yang memantik beberapa rekan sejawat akhirnya sedikit naik pitam. Meskipun awalnya dikemas dalam bentuk candaan, akan tetapi tidak dapat dipungkiri beberapa pihak tidak nyaman pada saat slogan Ikhlas beramal ini di gelorakan di tengah efesiensi anggaran.
Lebih mencengangkan lagi , setelah rapat kordinasi via zoom tadi sore, ternyata ada beberapa rekan sejawat yang mengembalikan mata kuliah yang diberikan, dan hanya ingin mengajar sesuai dengan batas maksimal mata kuliah sesuai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kondisi ini semakin menggambarkan bahwa slogan Ikhlas beramal sudah benar-benar sulit untuk di aplikasikan dalam diri ASN Kemenag RI.
Padahal kesemuanya hanyalah "Jama-jamang Lino". (Meminjam istilah yang dipopulerkan oleh Pak Rektor Prof.Dr.Kyai. Hannani, M.Ag.). Keikhlasan dalam beramal adalah prinsip yang menekankan niat murni untuk membantu sesama tanpa mengharapkan imbalan atau pujian. Ini adalah nilai spiritual yang mendalam, sering kali dianggap sebagai esensi dari kebaikan sejati. Namun, di tengah tekanan untuk mencapai hasil maksimal dengan sumber daya minimal, keikhlasan bisa terancam tergeser oleh pragmatisme. Misalnya, ketika kelebihan jam mengajar tidak dibayarkan, mobil dinas di kembalikan, perjalanan dinas di pangkas, dan beberapa program strategis fakultas dan lembaga ditiadakan, justru malah mempengaruhi kinerja sebagai ASN. Jika semua kegiatan dilakukan hanya untuk kepentingan pencitraan atau ketika program dirancang semata-mata untuk menghabiskan anggaran, nilai keikhlasan bisa saja hilang.
Efisiensi di sisi lain adalah kebutuhan yang tidak bisa dihindari. Dalam konteks beramal, efisiensi berarti memastikan bahwa apa yang kita kerjakan benar-benar tepat sasaran, tepat waktu, dan menggunakan sumber daya seoptimal mungkin. Ini adalah hal yang positif, karena efisiensi memungkinkan lebih banyak orang terbantu dengan sumber daya yang terbatas. Namun, tantangannya adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara efisiensi dan keikhlasan.
Salah satu cara untuk menguji komitmen ikhlas beramal di tengah tuntutan efisiensi adalah dengan terus mengingat tujuan awal dari setiap tindakan kebaikan. Apakah kita beramal karena ingin menjalankan tugas secara profesional, atau karena ingin mendapatkan tambahan penghasilan dari setiap program dan kegiatan? Apakah program yang kita jalankan benar-benar berfokus pada kebutuhan institusi dan mahasiswa sebagai penerima manfaat, atau sekadar memenuhi target yang telah ditetapkan?
Selain itu, penting untuk menciptakan sistem yang tidak hanya efisien, tetapi juga mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan. Misalnya, dengan melibatkan Dosen dan mahasiswa dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini tidak hanya meningkatkan efektivitas program, tetapi juga menjaga keikhlasan dalam niat untuk bekerja.
Pada akhirnya, menguji komitmen ikhlas beramal di tengah efisiensi adalah tentang menjaga integritas. Efisiensi tidak harus mengorbankan keikhlasan, dan keikhlasan tidak harus berarti mengabaikan efisiensi. Keduanya dapat berjalan beriringan jika kita mampu mempertahankan fokus pada nilai-nilai kemanusiaan dan tujuan mulia dari setiap tindakan kebaikan. Dengan demikian, beramal tidak hanya menjadi aktivitas yang efektif, tetapi juga bermakna dan penuh keikhlasan.
Selamat menjalankan ibadah puasa.
Menguji Komitmen Ikhlas Beramal di Tengah Efisiensi