Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025, telah mengeluarkan kebijakan pemotongan anggaran di berbagai sektor pemerintahan sebagai langkah efisiensi. Kebijakan ini merupakan respons terhadap ketidakpastian kondisi ekonomi global serta upaya menjaga keseimbangan anggaran negara. Tujuan utama kebijakan ini adalah memastikan bahwa penggunaan dana negara lebih terarah pada program-program yang memberikan dampak langsung kepada masyarakat.
Masalah yang kemudian menjadi perhatian publik adalah ketika Presiden mengeluarkan Instruksi tentang penghematan anggaran di setiap kementerian dan lembaga, justru pemerintah mempertontonkan pemborosan anggaran melalui kegiatan Retreat Kepala Daerah yang menghabiskan puluhan miliar rupiah yang tidak sejalan dengan narasi penghematan yang digaungkan oleh pemerintah.
Efisiensi sering dijadikan ukuran keberhasilan dalam pengelolaan sumber daya, baik di sektor publik maupun swasta. Namun, jika efisiensi dilakukan tanpa transparansi, hal itu dapat membuka peluang terjadinya korupsi. Kurangnya transparansi menciptakan ruang bagi penyalahgunaan wewenang, manipulasi data, serta pengambilan keputusan yang tidak akuntabel.
Melanggar UU APBN
Instruksi Presiden (Inpres) salah satu bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan untuk mengatur pelaksanaan tugas-tugas tertentu dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan. Akan tetapi Instruksi Presiden tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang karena dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada Instruksi Presiden. Inpres bukanlah peraturan perundang-undangan, melainkan kebijakan administratif yang bersifat teknis dan operasional. Oleh karena itu, Inpres tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, termasuk Undang-Undang. Sehingga jika suatu Instruksi Presiden bertentangan dengan Undang-Undang, maka Inpres tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dan dapat dibatalkan. Hal ini karena Undang-Undang merupakan produk legislatif yang dibentuk oleh Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga memiliki legitimasi yang lebih kuat dibandingkan Inpres yang dikeluarkan secara sepihak oleh Presiden. Selain itu, bertentangannya Inpres dengan UU dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan merusak tata kelola pemerintahan yang baik. Masyarakat dan aparatur pemerintah akan kebingungan dalam melaksanakan kebijakan, karena ada dua aturan yang saling bertentangan. Dalam konteks ini, prinsip lex superior derogat legi inferiori (aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah) harus diterapkan.
Oleh karena itu, menurut penulis, ketika efisiensi anggaran dilakukan tanpa memperhatikan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hal ini bertentangan dengan hierarki peraturan perundang-undangan dan dapat merugikan negara dan masyarakat. Efisiensi yang melanggar hukum bukanlah efisiensi sejati, melainkan bentuk penyimpangan yang dapat mengarah pada korupsi, ketidakefektifan program, dan menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Undang-Undang APBN merupakan dasar hukum yang mengatur pengelolaan, alokasi, dan pertanggungjawaban anggaran negara yang telah disusun dan direncanakan oleh pemerintah dan DPR secara sistematis. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus sesuai dengan perencanaan dan ketentuan yang berlaku untuk memastikan keuangan negara digunakan secara efektif dan akuntabel. Namun, dalam praktiknya, sering kali dalih "efisiensi anggaran" justru melanggar aturan tersebut.
Salah satu contoh pelanggaran yang nyata adalah pengalihan dana antarprogram atau antarkegiatan tanpa persetujuan DPR, pengurangan anggaran untuk program strategis, atau pemotongan anggaran tanpa kajian mendalam. Praktik-praktik ini mungkin diklaim sebagai langkah penghematan, tetapi justru melemahkan tata kelola keuangan negara yang baik dan berpotensi merugikan kepentingan masyarakat.
Jika satu instansi dibiarkan melanggar aturan dengan alasan efisiensi, maka instansi lain mungkin akan mengikuti, menciptakan budaya ketidakpatuhan terhadap hukum. Hal ini dapat melemahkan sistem pengawasan dan akuntabilitas serta meningkatkan resiko korupsi.
Selain itu, pemotongan anggaran yang tidak sesuai dengan Undang-Undang APBN dapat berdampak negatif terhadap pelayanan publik. Misalnya, pemangkasan anggaran sektor kesehatan atau pendidikan dapat mengurangi kualitas layanan yang diterima masyarakat. Padahal, sektor-sektor ini berperan penting dalam memenuhi hak dasar warga negara dan mendorong pembangunan nasional.
Oleh karena itu, menurut penulis efisiensi anggaran harus dilakukan dalam koridor hukum yang berlaku. Efisiensi yang sejati bukan sekadar pemotongan anggaran, melainkan pengoptimalan penggunaan dana dengan tetap memegang prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan terhadap hukum. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap kebijakan efisiensi didasarkan pada analisis yang mendalam, melibatkan pemangku kepentingan, dan tidak mengorbankan kesejahteraan publik.
Membuka Celah Korupsi
Efisiensi berarti penggunaan sumber daya yang optimal untuk mencapai tujuan dengan seminimal mungkin pemborosan. Namun, jika efisiensi digunakan sebagai dalih untuk menghilangkan mekanisme pengawasan dan transparansi, maka praktik tersebut dapat membuka ruang terjadinya korupsi. Misalnya, proyek-proyek pemerintah yang diklaim "efisien" karena biaya yang rendah tetapi tidak memiliki laporan keuangan yang jelas dapat menjadi celah bagi penyalahgunaan anggaran.
Transparansi adalah elemen utama dalam memastikan bahwa efisiensi benar-benar dilakukan untuk kepentingan publik, bukan sebagai modus operandi untuk menutupi praktik korupsi. Tanpa transparansi, sulit bagi masyarakat dan lembaga pengawas untuk memastikan bahwa penghematan yang dilakukan tidak hanya sekadar alasan untuk menyalahgunakan anggaran.
Di berbagai negara, termasuk Indonesia, korupsi sering kali terjadi akibat minimnya transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. Banyak proyek infrastruktur yang diklaim dilakukan secara efisien tetapi ternyata berkualitas rendah atau memiliki biaya yang tidak wajar. Hal ini terjadi karena proses tender dan pengalokasian dana tidak dilakukan secara terbuka, sehingga membuka celah bagi kolusi dan nepotisme.
Menurut penulis, efisiensi harus selalu diiringi dengan transparansi. Tanpa transparansi, efisiensi dapat menjadi alat yang digunakan untuk menyamarkan korupsi. Oleh karena itu, pemerintah, sektor swasta, dan seluruh pemangku kepentingan yang mengelola sumber daya publik harus memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mendorong transparansi. Dengan menuntut keterbukaan dalam pengelolaan anggaran dan kebijakan pemerintah, masyarakat dapat berkontribusi dalam memastikan bahwa efisiensi yang dilakukan benar-benar membawa manfaat bagi semua, bukan hanya bagi segelintir pihak yang ingin mengambil keuntungan dari ketiadaan transparansi.
Efisiensi Tanpa Transparansi berujung Korupsi