Berita 15 Juli 2024, RAKYAT PAPUA, JAYAPURA - Penolakan peletakan batu permata dan pembangunan Pondok Pesantren Mamba'ul Ulum Nur Al Fitrah di Perumahan Jaya Abri RNTROP GKI Penabur Jaya Asri merupakan sebuah perwujudan dari dinamika sosial dalam komunitas lokal.
...
Penolakan ini bukan tanpa alasan. Terdapat kekhawatiran dari beberapa pihak bahwa pembangunan Pondok Pesantren Mamba'ul Ulum Nur Al Fitrah, yang dimulai dengan peletakan batu permata, bisa mengakibatkan perubahan signifikan pada struktur sosial dan lingkungan. (Berita lengkap simak di https://shorturl.at/WouIg)
***
Berita 20 September 2024, Parepare - Sejumlah warga di Kota Parepare, Sulawesi Selatan (Sulsel), kembali menggelar demonstrasi menolak kelanjutan pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel. Massa menuding pembangunannya menyalahi aturan pendirian sekolah.
Massa menggelar aksi unjuk rasa di lokasi pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel Parepare, Kelurahan Watang Soreang, Kecamatan Soreang pada Jumat (20/9) siang. Massa yang menggelar demo mengatasnamakan Forum Masyarakat Muslim Parepare (FM2P). (Berita lengkap simak di https://shorturl.at/wUn21)
***
Di atas terdapat dua berita yang menggambarkan dua peristiwa yang memiliki latar belakang permasalahan yang sama. Namun, perbedaan hanya terletak pada lokasi serta kelompok yang menolak dan kelompok yang mengalami penolakan. Berita pertama terjadi di Kota Jayapura dengan mayoritas penduduk Kristen menolak pendirian pesantren, sedangkan berita kedua terjadi di Kota Parepare dengan mayoritas penduduk Islam menolak pendirian sekolah Kristen.
Sebenarnya, penulis enggan menggunakan istilah mayoritas dan minoritas untuk menelaah realitas sosial di atas. Istilah ini meniscayakan akan ada yang jauh lebih banyak jumlahnya dibanding kelompok lainnya. Kenyataannya, persoalan mayoritas dan minoritas bukanlah perkara kuantitas saja, tetapi ini menyangkut tentang keadilan, pemerataan, dan pemberian kesempatan yang sama tanpa membedakan jumlah banyak atau sedikit.
Mau tidak mau, suka atau tidak suka, kedua istilah ini tetap harus digunakan untuk menggambarkan masih adanya ketimpangan kuasa di tengah masyarakat antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Karena hanya kekuasaan dominan yang memiliki potensi melanggar kelompok-kelompok kecil lainnya. Hal ini berasal dari perasaan yang mengganggap kelompoknya telah berhasil memainkan peran besar dalam membangun karakteristik bangsa atau wilayah tertentu lainnya (Umihani, 2019). Di banyak kasus, kelompok minoritas hanya perlu tunduk mengikuti keinginan kelompok minoritas demi “kerukunan”. Dengan kata lain, jika kelompok minoritas tidak mengikuti keinginan yang banyak, maka mereka dapat dianggap perusak kerukunan umat beragama.
Kondisi ini dapat terlihat jelas di kedua realitas sosial di atas, kuasa mayoritas dengan jumlah massa yang banyak melakukan demonstrasi penolakan. Ragam alasan dilontarkan, seperti pembangunan akan membawa perubahan signifikan terhadap struktur sosial dan lingkungan masyarakat setempat, tidak adanya izin pembangunan, adanya potensi perubahan komposisi kependudukan yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat. Ditambah, jauh sebelumnya sudah berdiri banyak sekolah dan perguruan tinggi agama mayoritas menjadi alasan penolakan.
Pada akhirnya, penyelesaian yang terjadi selalu mengorbankan kepentingan minoritas, seperti memindahkan lokasi sekolah atau rumah ibadah ke tempat lain. Pemerintah yang seharusnya menjadi penengah tidak luput sebagai pemantik diskriminasi. Masih atas nama kerukunan dan keamanan, pemerintah tunduk pada kuasa mayoritas, mengharuskan kelompok minoritas berkontribusi mewujudkan kehidupan harmonis dari kaca mata kelompok mayoritas.
Kasus-kasus pelarangan seperti ini seharusnya tidak lagi menjadi momok kehidupan berbangsa bernegara kita dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang sudah diajarkan sejak pertama menginjakkan kaki di sekolah dasar. Penghormatan atas hak asasi dan hak hidup sebagai warga negara perlu digiatkan kepada siapa pun dan di mana pun, tanpa mengkotak-kotakkan warna kulit, jenis kelamin, terlebih agama. Perbedaan kepentingan perlu ditengahi dengan duduk bersama menekankan pentingnya menghargai hak sesama warga negara untuk mengenyam pendidikan yang sesuai dengan latar belakang agama masing-masing. Sejalan dengan konsep multikultiralisme dan pluralisme yang mengasumsikan tidak adanya kelompok subordinat dan dominan di dalam masyarakat karena semua memiliki kesempatan yang sama untuk mengekspresikan dirinya.
Namun, akan lain ceritanya, jika masih ada kelompok yang mengganggap dirinyalah yang paling layak dilindungi haknya karena jumlah yang banyak dibandingkan kelompok lain, maka pemahaman moderasi beragama yang terus digaungkan untuk meminimalisasi kasus diskriminasi dan intoleransi tidak ada gunanya. Moderasi beragama hanya menjadi bualan belaka untuk mengukur seberapa moderat manusia Indonesia berdasarkan pengetahuan. Namun, tindakannya mungkin tidak akan pernah mencerminkan pengetahuan tersebut karena kelompok mayoritas masih akan terus mengagung-agungkan kuasanya sebagai yang terbanyak, dan yang sedikit hanya perlu tunduk mengikuti perintah atas nama kerukunan.
Padahal sesungguhnya Gus Dur pernah berpesan, “Jika kita melindungi minoritas non muslim di negeri ini, sebetulnya kita juga sedang berjuang melindungi minoritas muslim di tempat lain.”
Kungkungan Mayoritas-Minoritas; Moderasi Beragama Angan Belaka