Virus, Peradaban dan Simbolisme Alam

1 March, 2020 by
Hayana
| No comments yet

Oleh : Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama IAIN Parepare)

Opini— Hari-hari terakhir perhatian umat manusia di lini masa bahkan dunia masih saja berkutat pada soal virus Corona (Covid-19). Betapa tidak, virus ini membawa ekses tersendiri (petaka besar) bagi kehidupan global. Kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata di depan mata di semua negara.

Negara-negara di belahan dunia yang terpapar virus tersebut kini mendadak menjadi hantu paling menakutkan di dunia. Orang-orang yang pada mulanya senang bepergian, rutin bertamasya di manca negara, mengagendakan ibadah haji, seketika ciut nyalinya. Hal itu karena di samping adanya pembatasan negara yang ketat, juga lantaran seisi dunia panik dan tergopoh-gopoh menghadapi laju penyebaran pandemi ini.

Pada abad ini, kita menemukan bangsa manusia berada dalam suatu krisis global yang mengerikan, yaitu hadirnya pendemi Corona telah menyebabkan krisis multidimensional. Ia tidak hanya menyentuh aspek kesehatan, tetapi juga memengaruhi dimensi sosial, ekonomi, politik hingga budaya. Kita tidak tahu kapan virus ini akan berakhir namun selalu ada harapan dan optimisme bahwa badai ini akan segera berlalu.

Virus dan Peradaban Manusia
Sejarah manusia adalah sejarah penyebaran virus. Adalah Profesor Jared Diamond, sejarawan dan antropolog kenamaan yang memberi warning tentang itu. Dalam buku tersohornya yang berjudul Guns, Germs and Steel (Bedil, Kuman, dan Baja), ia menyebutkan virus dan kuman merupakan penanda peradaban manusia.

Menurut Jared Diamond, ada tiga yang menjadi penanda eksistensi peradaban manusia, yakni bedil, kuman dan baja. Ia mendasarkan argumentasinya pada fakta sosial masa lalu bahwa setiap kali peperangan dan penaklukan bangsa-bangsa terjadi sering kali hadir secara bersamaan penyakit (virus) yang menyerang umat manusia. Dalam situasi ini, terjadi perubahan lanskap sosial termasuk jatuhnya rezim.

Dalam buku tersebut, Jared Diamond bercerita tentang bangkit dan runtuhnya kejayaan-kejayaan masa lalu. Banyak peradaban yang lenyap dan meninggalkan monumental. Itu bukan hanya karena dilatari penggulingan pemerintahan oleh pemerintahan lain melalui perang, melainkan juga akibat penyebaran pandemi.

Kisah ini tercatat dengan rapi dalam karya Jared Diamond. Ia menuturkan, saat wabah Black Death (flu spanyol) hadir di abad-14, diperkirakan terdapat 200 juta populasi orang Eropa yang tewas mengerikan. Penyakit itu dengan cepat menyebar dan menjangkiti orang-orang dan membunuh seperempat penduduk Eropa di tahun 1346-1352, dengan jumlah korban jiwa hingga 70 juta orang.

Virus yang menyerang umat manusia memang pernah terjadi di berbagai tempat. Albert Camus penerima Anugrah Nobel dengan maha karyanya berupa novel ekstensialis berjudul La Peste yang horor itu, telah memberi ulasan bahwa kematian akibat epidemik adalah salah satu hal yang membinasakan umat manusia secara massal.

Ia mencatat bahwa pada tahun 1720, wabah Sampar melanda kota Marseille, Prancis. Ia telah menewaskan lebih dari seratus ribu para warga di dalam kota itu. Barulah 25 tahun kemudian, jumlah populasi Marseille kembali seperti tahun 1720. Kemudian, wabah Kolera juga pernah menjadi ancaman manusia pada tahun 1820. Ratusan orang tewas akibat wabah ini termasuk tentara Inggris sehingga menarik perhatian Eropa kala itu.

Tidak hanya itu, di tahun-tahun terakhir epidemi influenza juga membunuh 21 juta orang. Belum lagi Kolera, Lepra dan Tuberculosis. Semuanya telah melenyapkan sepertiga populasi bumi. Ada masih banyak lagi pendemi serupa yang pernah terjadi dari masa ke masa. Teranyar, umat manusia juga pernah diterpa virus Mers, SARS, Flu Babi, Ebola, Flu Burung yang tidak hanya mematikan manusia, tetapi juga menggerus nyawa binatang ternak peliharaan.

Rententan peristiwa di atas menunjukkan bahwa betapa virus selalu hadir dalam setiap perkembangan peradaban manusia. Mereka yang hidup di saat wabah mematikan menggila adalah manusia-manusia yang terseleksi dari pandemi. Ini yang disebut Herbert Spencer Survival of the fittest, yaitu hanya individu yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya-lah yang akan bertahan. Mereka yang berhasil melewati masa-masa sulit itu, yang akan menciptakan peradaban-peradaban baru di kemudian hari.

Hikmah nyata yang bisa dipetik dari fenomena ini adalah bahwa sekian abad perjalanan virus dan penyakit di permukaan bumi, manusia selalu berhasil mengalahkannya. Tiap kali virus menyerang manusia, melalui teknologi kedokteran dan pengembangan cara mengatasi dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, manusia selalu saja meraih kemenangan atas virus tersebut. Bersamaan dengan itu, muncul peradaban-peradaban baru umat manusia untuk menjaga eksistensinya di permukaan bumi.

Sudut Gelap Kemajuan

Terlepas manusia telah mampu menciptakan peradaban-peradaban baru di setiap kali muncul virus, harus diakui bahwa umat manusia termasuk yang paling banyak dipersalahkan atas fenomena alam ini. Itu dikuatkan dengan berbagai riset bahwa kemunculan virus dan penyakit-penyakit baru tidak lepas dari kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas ekstraktif manusia terhadap alam.

Virus ini adalah bagian integral alam semesta. Ia merupakan kombinasi alam yang memiliki ekosistem tersendiri. Kehadiran umat manusialah yang mengubah keseimbangan itu, sehingga virus beralih ke organ-organ manusia.

Di balik kemajuan-kemajuan yang telah dicapai umat manusia, memang bisa dirasakan. Itu harus diakui. Peradaban-peradaban yang kita nikmati hari ini adalah buat modernitas yang diciptakan umat manusia. Kita telah menikmati kemajuan, kecepatan, kemudahan dan pertumbuhan yang mengubah segala aspek kehidupan kita.

Tetapi, aspek-aspek yang lain juga menyisakan banyak masalah. Di sana tersimpan sisi gelap tersendiri yang tidak mudah untuk diselesaikan. Itu karena kemajuan juga memberikan ancaman kepada manusia seperti apa yang tengah kita rasakan saat ini. Yaitu ancaman kematian melalui berbagai penyakit.

Fritjof Capra dalam bukunya Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan telah menggaris bawahi bahwa akan selalu ada sisi gelap dalam setiap pertumbuhan. Bagi Capra, pertumbuhan teknologi yang berelebihan telah menciptakan suatu lingkungan di mana kehidupan manusia menjadi tidak sehat baik secara fisik maupun mental. Tatkala seseorang menjadi sakit, hal itu tidaklah mengherankan sebab manusia dalam mengembangkan teknologi, institusi termasuk gaya hidup pada awalnya menciptakan ketidakseimbangan budaya yang tidak sehat. Manusia telah menggiring peradabannya ke arah kehancurannya sendiri.

Menurut Fritjof Capra, obsesi manusia untuk mendapatkan keuntungan-keuntungan ekonomi telah menciptakan konsekuensi-koneskuensi yang berbahaya bahkan membawa pada malapetaka. Hal itu terjadi karena kesadaran ekologis manusia telah hilang di dalam peredaran. Manusia yang merasa memiliki kemampuan segala-segalanya, mulai jumawa. Akibatnya, supremasi manusia atas alam semakin tidak terkontrol. Semakin ke sini manusia merasa diri sebagai satu-satunya pemilik semesta.

Pemberontakan Alam

Karl Marx dalam karya monumentalnya Economic and Philosophic Manuscripts pernah berucap bahwa alam adalah tubuh organik manusia. Bagi Marx, manusia hidup di alam berarti alam adalah tubuhnya, yang harus ditinggalinya dalam suatu hubungan yang terus menerus jika dia tidak ingin mati. Kondisi kehidupan fisik dan spritual manusia terkait erat dengan alam yang berarti bahwa alam terkait dengan dirinya sendiri, karena merupakan bagian dari alam.

Begitu kira-kira pernyataannya. Sepintas lalu kendatipun mungkin bersifat insidental tetapi Marx telah menekankan bahwa pentingnya alam dalam susunan sosial dan ekonomi di seluruh tulisannya. Meskipun persoalan ekologi bukanlah masalah mendasar kala itu tetapi dia sadar akan dampak ekologis akibat alam yang tidak terjamah secara bijak seperti saat sekarang ini.

Menurut Max Horkheimer, salah satu teoritikus kritis Sekolah Frankrut Jerman, bahwa hubungan antara manusia dengan alam di jaman modern ini mengalami krisis. Betapa tidak, di jaman kejayaan akal budi instrumentalis ini, ternyata manusia memandang alam hanya untuk ditindas. Dalam perjalanannya, seisi alam raya lingkungan dianggap hanya untuk memenuhi keinginan dan kebutuhannya. Bagi Horkheimer, akibat nyata atas hubungan yang tidak baik itu, alam pun memberontak dan manusia ganti ditindas oleh alam.

Jika dipikir-pikir nampaknya ada benarnya juga. Bahwa umat manusia masa kini tidak dapat menjaga nafsu serakah dan kegilaan mengonsumsi makanan yang melampaui batas norma manusia. Sumbangan Spesies alam raya yang mengumpulkan virus-virus ganas agar tidak bertebaran di bumi dan mengganggu keselamatan manusia, dirusak sendiri oleh manusia. Akibatnya, virus-virus yang tersimpan dalam tubuh binatang liar itu kini kehilangan tempat tinggalnya dan beralih ke manusia.

Beberapa ahli menyebut virus Corona berasal dari binatang liar seperti ular dan kelelawar dan sejenisnya. Oleh manusia binatang itu justru diperdagangkan, dijual hidup-hidup. Mereka ditangkapi, dicincang, dimakan dan dihilangkan hak hidupnya. Karena kehidupan kita yang tak lagi harmoni pada mereka hingga pada akhirnya mereka bertindak balas mengundang berbagai penyakit berjangkit yang akan memusnahkan manusia secara beramai-ramai.

Pikiran liar saya menduga memang merebaknya virus ini bisa jadi pembalasan hewan kepada manusia. Tragedi ini, bisa jadi pemberontakan alam terhadap manusia yang selama ini semena-mena. Ya. Virus telah melululantahkan kehidupan kita. Itu dapat disaksikan. Ia berhasil memenangkan pemberontakan lantaran berhasil menembus tapal batas bumi manusia yang membahayakan seluruh spesies umat manusia di permukaan bumi.

Inilah simbolisme-simbolisme alam. Kehadiran manusia dalam menciptakan peradaban-peradaban tak tertandingi adalah momok bagi kelangsungan hidup spesies lain di alam raya. Adakah kita memikirkan itu? Sebab, munculnya pandemi-pandemi mengerikan ini bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba. Mereka adalah manifestasi dari apa yang manusia telah lakukan terhadap alam, ekosistem mereka. Sebuah simbol ketidakseimbangan alam, atau alarm kerusakan bumi akibat ulah manusia.

Dengan demikian, adakalanya setiap pembicaraan kita tentang “krisis pandemi” harusnya dimulai dari suatu perspektif yang lebih luas dari itu. Yaitu dengan perspektif yang memperhitungkan akar masalah dengan masalah-masalah kritis yang kita tengah hadapi saat ini. Sebab, sekali kenyataan-kenyataan itu dipahami, maka akan menjadi jelas bahwa sumbernya adalah dari manusia itu sendiri.

Akhirnya mari kita menyikapi fenomena-fenomena semesta ini dengan senantiasa menyandarkan pada teologi lingkungan alam raya. Itu bisa kita lakukan saya kira dengan merenungi ayat ini “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (Ar-Rum: 41). (*)

Daftar Pustaka
Camus, Albert. 2006. Sampar (Terjemahan). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Cafra, Fritjof. 2007. Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat. dan Kebangkitan Kebudayaan (Terjemahan). Bandug: Nuansa Cendekia.
Diamond, Jared. 2013. Bedil, Kuman dan Baja: Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
Horkheimer, Max dkk. 2019. Dilema Usaha Manusia Rasional: Teori Kritis Sekolah Frankfurt (Terjemahan). Jakarta: Gramedia.
Marx, Karl. 2006. Edisi Indonesia: Kapital Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Bandung: Hasta Mitra.

Republish https://sosgama.iainpare.ac.id/2020/03/virus-peradaban-dan-simbolisme-alam.html

in News
Hayana 1 March, 2020
Tags
Archive
Sign in to leave a comment