OPINI; Lontara Paseng, Spirit Integrasi Budaya Etika Berilmu
Oleh : Dr Agus Muchsin, Dosen IAIN Parepare
OPINI — Engka eppa cappa’ bokonna to laoe, iyanaritu saisanna : Cappa’ lilae, Cappa’ orowanewe, Cappa kallangnge, enrengnge Cappa’ kawalie,
Secara hitoris dalam budaya tulis suku Bugis tercatat pernah menggunakan batu, kapur dan pena dari kayu yang dicelup pada cairan pewarna (kallang). Cappa kallang dalam term bahasa Bugis di terjemahkan ujung pena, namun pada kalimat lontara paseng di atas berkonotasi pada makna konteks sebagai buah atau hasil dari pena yakni ilmu.
Ilmu dalam perspektif lontara ini dianggap sebagai bokong tacappu (bekal yang tidak pernah habis), sehingga tidak akan sengsara manakala memiliki bekal ilmu karena dapat mengangkat stratifikasi sosial bagi orang berilmu (tau acca) dengan memposisikan sebagai orang pertama setelah raja, biasanya disebut anakarung, bahkan dalam acara resmi dapat duduk bersama dengan raja.
Kesetaraan ini tertuang dalam teks lontara “situdangengi to accae, to sogi’e, to waranie sibawa datue (Raja berdampingan dengan orang berilmu, orang kaya dan orang berani). Empat yang disebutkan di atas menjadi bagian penting dalam struktur ketatanegaraan, karena secara simbolik masing-masing mewakili beberapa kelompok antara lain: kelompok intelektual, pengusaha, panglima dan penguasa.
Peran intelektual ini mendapat perhatian khusus dengan disimbolkannya sebagai cappa kallang (ujung pena). Pesan hikmah tersebut menjadi indikator bahwa masyarakat bugis memiliki kesadaran menuntut ilmu cukup tinggi, karena menjadi bagian integral dari nilai-nilai budaya yang terkonstruk dalam sebuah peradaban. Jelasnya dengan ilmu, manusia dapat ikut serta membangun kemajuan zaman dan mengungkap kebenaran melalui uji observasi dan uji eksperimen, atau secara filosofis menguak aspek ontologi, akseologi dan epistemologi terhadap ciptaan Allah swt.
Jika diintegrasikan dalam nilai Islam maka cukup jelas dengan perintah awal yang diturunkan pada Nabi Muhammad saw yakni iqra‘ (اقرا) artinya bacalah. Nabi menjawab ma ana bi qari’in (ما انا بقارء) artinya aku tidak tahu membaca. Ketika itu Nabi dipeluk oleh malaikat Jibril as hingga kejadiannya berulang tiga kali. Jibril as mengatakan bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu (اقرء باسم ربك الذي خلق).
Term iqra’ dalam bahasa Arab merupakan bentuk fi’il (kata kerja) muta’addy, butuh pada objek (ما يحتاج الي مفعول به). Struktur kalimat ini tidak menyebutkan objeknya namun menyebutkan kata keterangan dari jumlah huruf jar wal majrur (الجار والمجرور) pada kalimat bismi Rabbik (باسم ربك). Rentetan kalimat pada surah ini memberikan kesan urgensi pembacaan ilmiah terhadap alam (ciptaan Allah) yang didasarkan pada imaniyah.
Qurais Syihab dalam Tafsir al Misbah menyebutkan bahwa pembacaan ilmiah dalam Islam memiliki dua sumber yakni pertama, ilmu yang diperoleh melalui proses pembelajaran melalui pena (علم بالقلم) yang didasarkan pada kerangka metodologi ilmiah. Kedua, ilmu pemberian langsung dari Allah swt (علم الانسان مالم يعلم), baik melalui isyarah, ru’yat, dan ilham.
Eksplorasi ilmiah dengan menggunakan dua metode tersebut akan melahirkan intelektual yang beriman, dalam QS. Al Mujadilah: 11 Allah swt berfirman.
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ ۚ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
Terjemahnya;
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ketinggian derajat melalui iman dan ilmu ternyata butuh metode (منهج) seperti pada persyaratan yang disebutkan Syekh Az-Zarnuji di dalam kitab Ta’limul Muta’allim Thariqut Ta’allum, dengan mengutip syair indah oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib
أَلَا لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلَّا بِسِتَّةٍ # سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ
ذَكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍوَبُلْغَةٍ # وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ
Ingatlah engkau tidak akan meraih ilmu kecuali dengan enam hal. Saya akan memberitahukan kepadamu penjelasan semuanya. Cerdas, keinginan yang kuat, sabar, bekal, petunjuk guru, dan waktu yang lama.
Deskripsi tentang perolehan ilmu di atas menyebutkan 6 bentuk kesiapan, jika diidentifikasi maka penuntut ilmu mesti memiliki kesiapan moril dan materil. Secara moril mereka harus cerdas, sabar, berkeinginan kuat, sabar, mengikuti petunjuk guru. Sedang secara materil butuh bekal dalam menempuh proses pendidikan dalam waktu lama.
Tampaknya ilmu mesti berdampingan dengan etika. Problematika peradaban akibat dekadensi moral, sumber awalnya adalah hilangnya sikap penghargaan terhadap guru. Bias globalisasi pendidikan tidak ubahnya seperti dua sisi koin berbeda yang sementara menggelinding. Di satu sisi adalah kemajuan sains dan teknologi, namun di sisi lain terkikisnya nilai moralitas.
23 March, 2020
by
webadmin1
in News
webadmin1
23 March, 2020
OPINI; Lontara Paseng, Spirit Integrasi Budaya Etika Berilmu