Skip ke Konten

PMA No. 5 Tahun 2017: Jam Kerja Ideal atau Ilusi Fleksibilitas?

Oleh: Suhartina, M.Pd.
3 September, 2024 oleh
Nur Aeni K

Tanpa ada angin atau hujan, suami tiba-tiba membahas jam kerja dosen, “Ummi, jam kerja dosen itu, hanya 17 jam sepekan.” Mendengar pernyataan tersebut, saya hanya bisa melongo. Dalam hati, “Sok tahu saja,” sambil buru-buru memasak .Ya, saya harus buru-buru, karena harus ke kampus untuk fingerprint dan pusaka sebelum pukul 07.30 pagi.

“Oh, jawabku”sambil menyiapkan pakaian. Tidak lama setelah itu, suami menunjukkan unggahan Instagram seorang dosen Kementerian Agama yang menggambarkan betapa santainya menjadi dosen Kemenag merujuk PMA No. 5 Tahun 2017. Unggahan ini, akhirnya membuat saya terlambat sampai di kampus karena menyempatkan diri membaca PMA tersebut. Saya penasaran, bagaimana mungkin PMA tidak dilaksanakan di seluruh kampus di bawah naungan Kemenag?

PMA No. 5 Tahun 2017 sering dirujuk dalam pembahasan jam kerja dosen, memberikan kesan ideal tentang fleksibilitas waktu dalam profesi ini. Peraturan tersebut menetapkan pedoman jam kerja untuk berbagai jenjang jabatan akademik, termasuk asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Walaupun peraturan ini menggambarkan beban kerja yang relatif ringan, kenyataan di lapangan sering kali bertentangan dengan panduan tersebut.

Di kampus tempat mengajar, kenyataan jauh dari gambaran dalam PMA. Dosen diwajibkan untuk melakukan fingerprint dan pusaka dengan ketat setiap pagi dan sore. Kehadiran di kampus diatur dari pukul 07.30 s.d. 16.00 Wita. Sistem ini menciptakan rutinitas administratif yang ketat dan birokratis, jauh dari fleksibilitas yang sering diasosiasikan dengan profesi dosen.

Lebih mengejutkan, beberapa dosen bahkan mengajar lebih dari 20 SKS. Sementara PMA No. 5 Tahun 2017 menyiratkan beban kerja dosen yang ringan, kenyataannya beberapa rekan dosen menanggung beban mengajar yang jauh melebihi angka tersebut. Kontras ini menyoroti ketidaksesuaian antara peraturan resmi dan realitas di lapangan, menggambarkan betapa besar perbedaan antara dokumen peraturan dan pengalaman sehari-hari.

Stereotip tentang profesi dosen sering kali menyederhanakan kenyataan yang lebih kompleks. Banyak orang beranggapan bahwa dosen memiliki waktu yang fleksibel dan tidak terlalu menuntut. Namun, beban kerja dosen mencakup lebih dari sekadar jam mengajar. Tanggung jawab tambahan seperti penelitian, penyusunan materi ajar, evaluasi tugas, serta berbagai kegiatan akademik dan administratif sering kali memerlukan waktu yang jauh lebih banyak daripada yang diakui dalam regulasi.

Di tengah ketidaksesuaian antara peraturan dan realitas di lapangan, aspek reward dan punishment menjadi sangat relevan. Penghargaan dan hukuman dapat mempengaruhi motivasi dan kesejahteraan dosen secara signifikan. Penghargaan, seperti kompensasi finansial yang sesuai dengan beban kerja tambahan, pengakuan akademik, dan peluang pengembangan karier, sangat penting untuk memotivasi dosen dan menghargai kontribusi mereka yang lebih dari sekadar jam mengajar. Di sisi lain, hukuman seperti penerapan sistem fingerprint yang ketat harus diterapkan dengan adil dan proporsional, menghindari dampak negatif yang tidak perlu bagi semua dosen akibat tindakan beberapa oknum yang tidak disiplin. Kebijakan yang tidak mempertimbangkan keseimbangan antara reward dan punishment dapat menciptakan ketidakpuasan dan merusak moral dosen.

Media sosial dan peraturan sering memberikan pandangan yang terlalu menyederhanakan kompleksitas pekerjaan dosen. PMA No. 5 Tahun 2017 mungkin memberikan kesan bahwa beban kerja dosen ringan, tetapi kenyataannya sering kali menunjukkan bahwa fleksibilitas yang dijanjikan hanyalah ilusi di balik lapisan birokrasi dan tuntutan administratif yang berat. Selain itu, penting untuk dicatat bahwa beban kerja dosen tidak hanya diukur dari jam mengajar di kelas. Tanggung jawab dosen mencakup partisipasi dalam berbagai kegiatan akademik, seperti konferensi, seminar, dan kerja sama penelitian, yang sering memakan waktu berjam-jam di luar jam kerja formal. Tidak jarang dosen juga harus menghadapi beban administratif tambahan seperti penyusunan laporan dan akreditasi.

Artikel ini bukanlah sebuah keluhan tentang profesi dosen, melainkan upaya untuk memberikan gambaran yang lebih realistis mengenai tantangan yang dihadapi. Mengungkapkan perbedaan antara regulasi dan realitas bukanlah untuk mengeluh, tetapi untuk memastikan bahwa persepsi masyarakat tentang profesi dosen tidak terdistorsi oleh gambaran yang tidak lengkap. Meskipun PMA No. 5 Tahun 2017 dan berbagai sumber mungkin menunjukkan bahwa menjadi dosen adalah sebuah pekerjaan yang santai dengan fleksibilitas waktu, kenyataannya sering kali jauh berbeda. Dosen Kemenag, seperti banyak profesi lainnya, menghadapi tantangan dan tuntutan yang kompleks, di luar jam mengajar yang tertera di kertas.

Untuk mengatasi kesenjangan antara peraturan dan realitas di lapangan, pemangku kebijakan perlu mempertimbangkan beberapa langkah strategis. Pertama, diperlukan evaluasi mendalam mengenai efektivitas dan relevansi PMA No. 5 Tahun 2017 dalam mencerminkan beban kerja dosen yang sesungguhnya. Penyesuaian peraturan agar lebih sesuai dengan kondisi nyata di lapangan dapat membantu mengurangi ketidaksesuaian dan meningkatkan kesejahteraan dosen. Selain itu, penting untuk mengembangkan sistem evaluasi dan pelaporan yang transparan, sehingga beban kerja dosen dapat dicatat dan diakui dengan lebih akurat.

Saya pernah berdiskusi dengan seorang teman yang kebetulan menjabat dan ahli hukum. Dia menjelaskan bahwa secara aturan sebenarnya tidak diwajibkan adanya ceklok fingerprint. Namun, karena adanya alasan tertentu (tak perlu saya sebutkan) akhirnya lahirlah surat edaran.

Teman saya yang lain menimpali, "Kita-mi, yang jadi korban. Kenapa bukan dosen yang bersangkutan yang di-SP? Kenapa kita semua harus kena?"

Dalam konteks ini, penting untuk memastikan bahwa reward dan punishment diterapkan secara adil. Penghargaan yang sesuai untuk beban kerja yang aktual dan hukuman yang proporsional terhadap pelanggaran yang terjadi harus menjadi bagian dari kebijakan. Dengan demikian, kebijakan yang diambil dapat mendukung dan mengakui kontribusi signifikan dosen dalam pendidikan, tanpa terjebak dalam stereotip yang tidak akurat dan dengan meminimalisir dampak negatif pada semua pihak.


di dalam Opini
Nur Aeni K 3 September 2024
Label
Arsip