Skip ke Konten

OPINI ; Horor Coronavirus dan Budaya Kekerasan Masyarakat

1 April, 2020 oleh
Hayana

Oleh: Mahyuddin, M.A (Dosen IAIN Parepare)

OPINI —- Tatanan moral masyarakat kita akhir-akhir ini tengah diuji oleh gelombang kehadiran Coronavirus (Covid-19). Peristiwa yang menyeruak di permukaan adalah muncul tindakan sosial sekelompok orang yang mengarah pada proses dehumanisasi. Yaitu tampak tengah berlangsung peristiwa-peristiwa kekerasan yang membawa pada luka kemanusiaan yang amat dalam.

Isu yang mengemuka di lini masa adalah berbagai efek kemanusiaan yang diderita pasien berjangkit virus Corona. Santer diperbincangkan, orang-orang mulai menciptakan semacam penghindaran diri atas pasien tersebut ke dalam bentuk penolakan demi penolakan.

Di dalam fenomena ini, masyarakat melahirkan kontradiksi kekerasan “pemaksaan simbolik”, meminjam istilah sosiolog Pierre Bourdiau (Mumtahir, 2011). Bahwa ada unsur pemaksaan yang menjauhkan seseorang dari kecerdasan merasakan, berempati, dan bersosial. Sebab, yang dipertontonkan adalah tindakan yang jauh melampaui kenyataan sehari-hari kita. Suatu kenyataan yang sesungguhnya tidak lumrah pada masyarakat kita. Yaitu ada di antara sebagian anggota masyarakat melakukan penolakan-penolakan ketika jenazah yang positif terinfeksi Corona akan dimakamkan (Baca; Penolakan Pasien Corona).

Di situasi ini tentu hal tersebut sangat disayangkan. Ketakutan yang menggiring individu atau kelompok ke arah tindakan kekerasan terhadap orang lain, secara moralitas jelas tidaklah dibenarkan. Tindakan semacam ini sungguh jauh dari nilai-nilai sosial masyarakat kita yang demikian menjunjung tinggi penghargaan sosial dan budaya tolong-menolong di dalam perikehidupan bermasyarakat. Lalu bagaimana sosiologi menjelaskan fenomena sosial ini?

Masyarakat dan Hiperrealitas

Jean Baudrillard, seorang sosiolog posmodern Prancis, di dalam In The Shadow of the Silent Majorities menggunakan istilah hiperrealitas untuk menjelaskan distorsi makna lewat bahasa dalam suatu masyarakat (Ritzer, 2004). Menurut Baudrillard, di dalam dunia hiperrealitas kesemuan lebih dianggap nyata daripada kenyataan, dan kepalsuan dianggap lebih benar daripada kebenaran. Artinya, masyarakat kadang kala lebih percaya isu ketimbang informasi, rumor (cerita dari mulut ke mulut) dianggap lebih benar daripada kebenaran. Akhirnya, masyarakat tidak dapat lagi membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara isu dan realitas.

Di era masyarakat informasi saat ini, tidak dapat dimungkiri bahwa berseliwerannya berita tentang horor Corona membuat masyarakat panik. Citra virus ini yang cenderung “destruktif” mewarnai dengan sangat pekat informasi yang diterima masyarakat. Tak pelak, berkembang hiperrealitas tentang Corona ke arah efek-efek yang ekstrem, yaitu masyarakat terperangkap di dalam pengaburan-pengaburan makna.

Di dalam masa perang melawan virus ini, berbagai informasi yang disajikan berbagai media kontemporer seperti video, foto dan audio visual lewat media sosial menciptakan persoalan sosio-kultural yang berkaitan dengan pengetahuan, nilai dan makna. Oleh Yasraf Piliang disebutnya fatalitas informasi, yaitu informasi yang membiak tanpa henti dan tanpa terkendali di dalam media telah menggiring individu ke arah “hiperbola”. Akibatnya, yang terjadi adalah ada kesimpangsiuran kata dan penanda. Pencarian makna dan kebenaran pun menjadi mustahil.

Fenomena ini saya kira yang tengah berkembang di masyarakat. Merebaknya isu Corona di berbagai belahan dunia dan di tanah air telah menggiring masyarakat ke arah “hiperrealitas Corona”. Kampanye-kampanye pembatasan sosial (stay at home, social disatance, phsycal distancing, work from home, lockdown) di lini masa yang begitu masif telah berperan dalam membentuk hiperrealitas ini. Sehingga, betul yang dikatakan Baudrillard bahwa masyarakat lebih memercayai rumor ketimbang kebenaran. Ya, rumor kadang kala menutupi dan menyelewengkan dasar realitas yang sesungguhnya di situasi sekarang ini.

Di masyarakat kita, keberadaan berita horor Corona yang tersebar luas sedikit banyak mulai memengaruhi akal sehat kita. Irasionalitas dalam bahasa Baudrillard. Hal itu terjadi lantaran masyarakat telah terkontaminasi ke dalam hiperrealitas Coronavirus. Kita bisa saksikan bahwa dengan dalih menjaga jarak sosial, menghalangi orang, menyingkirkan individu, mendiskreditkan kelompok, bahkan menindas fisik dan psikologis orang lain dianggap lebih realistis daripada membuka ruang dialog untuk menemukan kesepahaman bersama. Tak ada lagi yang lebih realistis selain menjaga jarak meskipun ia bertindak terhadap orang lain di atas norma kewajaran.

Pergeseran Nilai dan Konsekuensi Sosial-Kultural

Di dalam kehidupan masyarakat yang penuh dengan ketakutan dan ketidakpastian bersebab Covid-19, harus diakui bahwa fenomena ini membawa efek sosial tersendiri bagi perubahan nilai dan norma masyarakat. Dalam artian kebiasaan dan tata kelakuan masyarakat ikut berubah seiring dengan merebaknya ancaman-ancaman virus berbahaya ini.

Horor bencana kematian massal virus ini membawa pengaruh signifikan pada pergeseran nilai-nilai yang dianut masyarakat. Mengapa keadaan itu terjadi? Keadaan ini disebabkan oleh perubahan struktur sosial (terutama kelompok-kelompok masyarakat, lembaga sosial dan pranata hukum) yang sedikit frontal akibat kehadiran Corona, sehingga akibat perubahan ini, nilai-nilai dan norma-norma yang lama sedikit banyak tidak berlaku lagi untuk sementara waktu. Oleh Sosiolog Emile Durkheim disebut “anomie”. Yaitu norma-norma baru belum dirumuskan atau belum tersosialisasi dengan baik sehingga masyarakat mengalami kehilangan pegangan hidup. Akibat perubahan ini yang dikatakan Durkheim, hukum atau nilai dan norma di masyarakat mengalami kekacauan.

Meskipun Kementerian Agama telah merespons situasi ini dengan mengeluarkan pernyataan resminya terkait protokoler atau pengaturan memakamkan jenazah korban meninggal dunia akibat virus corona, yang tentu saja mengikuti arahan pihak rumah sakit dan arahan Kementerian Kesehatan, namun secara umum informasi ini belum diterima secara baik oleh berbagai lapisan masyarakat. Alih-alih diketahui masyarakat umum, bahkan informasi ini pun tidak semua sampai di masyarakat awam (terutama yang tidak bisa mengakses informasi). Jadi tidak heran jika banyak di antara kita yang belum paham.

Dengan demikian, bila kita amati hadirnya penolakan pasien berjangkit Corona, sesungguhnya kekerasan ini bukanlah tindakan yang berdiri sendiri. Ia adalah manifestasi dari paranoid terhadap Corona untuk dihindari sekaligus juga efek dari perubahan frontal Corona. Perubahan semacam ini menurut Durkheim, membawa dampak ketidakpastian tatanan nilai-nilai dan norma-norma mana yang akan dijadikan sebagai pedoman di kehidupan sosial masyarakat. Imbasnya, ikatan-ikatan solidaritas sosial menjadi retak yang mendistorsi perekat sosial, kultural dan spritual kita di dalam kehidupan sosial hari ini.

Contoh paling nyata di ranah ini adalah penolakan terhadap jenazah yang meninggal karena Covid-19. Puncak kemampuan diri masyarakat untuk merawat persaudaraan dan tenggang rasa tereduksi lantaran dikuasai oleh citra-citra yang menakutkan. Kita saksikan di berbagai tempat, banyak orang-orang masih belum bisa menerima pemakaman jenazah lantaran takut tertular virus.

Itulah yang terjadi belakangan. Kekuatan-kekuatan horor Corona telah melahirkan sikap dehumanisasi (penghilangan harkat manusia). Ya, rasa kemanusiaan kita telah terkoyak dan semakin terkikis, yang seakan-akan kehilangan akal sehat lantaran kekawatiran yang berlebihan. Padahal kita semua tahu, tak ada orang yang ingin terkena virus Corona dan ini bukanlah aib sosial. Adakah kita memikirkan itu? Pernahkah kita membayangkan perasaan sedih sanak keluarganya? Pernahkah kita berpikir betapa berat ujian keluarganya. Bagaimana kalau kita yang berada di posisi mereka?

Perlunya Edukasi dan Sosialisasi

Alfred Schutz & Thomas Luckmann di dalam The Structure of the Life World mengatakan bahwa kesadaran dunia kehidupan sosial masyarakat diliputi oleh kesadaran dan ketidaksadaran. Kesadaran manusia selalu merupakan kesadaran akan sesuatu, yaitu kesadaran kognitif yang menangkap objek-objek di sekitar, termasuk manusia lain. Dalam konteks horor Coronavirus, kesadaran yang dibangun di dalamnya adalah kesadaran berhadapan dengan fenomena trauma dan derita sosial oleh pasien-pasien berjangkit, yang di dalamnya dihasilkan aksi, persepsi dan opini-opini virus.

Dalam pada itu, objek horor yang ditangkap oleh pengalaman masyarakat inilah yang menghasilkan apa yang disebut Piliang sebagai halusinasi ruang yang didapatkan individu dari ruang kesalingterhubungan dan kesalingbergantungan di dunia kehidupannya. Efek boomerangnya ialah masyarakat mulai menciptakan ketakutan akut, yang dibangun di dalam halusinasi teritorial.

Individu dan kelompok mulai memisahkan diri dari kelompok yang terpapar virus. Mereka menaksirkan bahwa mereka perlu melakukan jarak sosial agar tidak tertular walaupun sebenarnya perilaku itu di dalamnya mengandung tindakan yang “paradoks”. Mengapa? Sebab di rumah sakit jenazah yang positif terdampak virus Corona telah dikemas sedemikian rupa menurut standar “protokoler kesehatan”, sehingga tidak perlu takut berlebihan. Kita cukup percayakan pada dokter dan tim medis yang lebih paham dan berilmu soal ini.

Di sinilah kita perlu mengedukasi berbagai pihak dan mensosialisasikannya ke masyarakat luas. Pemerintah perlu melibatkan berbagai pihak untuk memastikan pesan-pesan informasi benar-benar sampai di masyarakat luas agar tidak ada lagi penolakan pemakaman jenazah Covid-19. Dengan kata lain, ruang-ruang publik tidak saja membutuhkan aktor-aktor yang aktif, cekatan dan dinamis di dalam proses edukasi dan sosialisasi, tetapi lebih penting lagi mempunyai “sensibilitas” menyangkut apa sesungguhnya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Setiap kita wajib ambil bagian di ranah ini demi membuka tabir gelap jalan-jalan kemanusiaan. Saya terenyuh dengan nasihat salah satu ustad kondang tanah air Aa Gym dalam sebuah wawancara di televisi nasional yang meminta pandangan beliau dalam rangka merespons fenomena penolakan jenazah oleh sebagian warga. Ia mengatakan bahwa mengurusi jenazah adalah sesuatu yang baik bahkan dianjurkan dalam agama (fardu kifayah). Karena itu, kita perlu memuliakan jenazah sekaligus juga menghormati dan meringankan beban hidup keluarga-keluarga yang ditinggalkan.

Menurut Aa Gym, pengurusan jenazah Covid-19 ini telah melalui prosedur yang ketat menurut protokoler Kementerian Kesehatan. Pun dari pihak Kementerian Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memberikan arahan-arahan jelas tentang itu. Karenanya, jangan kita memperlakukan mereka dengan hina dina, sebab bisa jadi Tuhan timpakan hal serupa kepada kita. Jangan sampai jenazah kita juga ditolak di mana-mana. Kita tidak pernah tahu akan hal itu. Demikian nasihatnya yang mengingatkan semua pihak agar bersikap bijaksana dengan mengedepankan rasa persaudaraan sesama manusia.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin mengutip pernyataan Jhon Gunn, penulis kenamaan yang menulis buku Violence in Human Society. Ia pernah mengatakan bahwa bencana krisis kemanusiaan di dalam masyarakat akan terjadi bila ikatan perekat sosial dalam bentuk cinta, persahabatan, kasih sayang, saling pengertian telah hancur. Bagi Gunn, hancurnya ikatan-ikatan itulah, yang akan menggiring masyarakat ke arah sifat-sifat kebencian atau kemarahan, yang menggiringnya ke arah tindak-tindak kekerasan bahkan kekejaman.

Oleh karena itu, di tengah situasi kehidupan bangsa kita yang dikepung oleh ketakutan dan kekerasan dari berbagai arah ini, perlu menghidupkan kembali “cahaya-cahaya kemanusiaan” yang mulai redup. Perlu menebarkan “kilatan cahaya kemanusiaan” untuk menerangi hati sanubari kita, menerangi jalan gelap dalam dunia yang serba tidak pasti sekarang ini. (*)

Bahan Bacaan

Mumtahir, Arizal. 2011. Intelektual Kolektif Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Piliang, Y. Amir.2009. Posrealitas Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika. Bandung: Jalasutra.

Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern (Terjemahan). Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Setiadi dkk. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial. Jakarta: Prenada.

Schutz, Alfred & Thomas Luckman. 1974. The Structure of Life-World. Heinemann: Northwestern University Press.

di dalam Opini
Hayana 1 April 2020
Label
Arsip