Skip ke Konten

#KaburAjaDulu: Brain Drain, Digital Nomad, dan Kewarnegaraan Global

Penulis : Ir. Sufyaldy, M. Kom
8 Maret, 2025 oleh
Humas IAIN Parepare

Menarik membaca salah satu artikel di Kompas.com yang menyoroti fenomena  tagar #KaburAjaDulu yang lagi viral,  dalam kaitannya dengan teori Brain Drain. Fenomena Brain Drain merujuk pada perpindahan sumber daya manusia terbaik suatu negara ke luar negeri, yang disebabkan oleh berbagai faktor seperti politik, ekonomi, sosial budaya, dan keterbatasan peluang di negara asal.


Indonesia telah mengalami beberapa gelombang Brain Drain, terutama pada tahun 1965 dan 1980-an, serta kembali mencuat sebagai isu di media sosial dengan tagar #kaburajadulu. Dampak negatif dari kejadian ini adalah potensi merugikan Indonesia karena kehilangan talenta terbaiknya, sementara negara tujuan mendapatkan manfaat. Tidak dapat dipungkiri, di era infomasi ada banyak anak muda mulai melihat diri mereka bukan hanya sebagai warga negara tertentu, tetapi sebagai bagian dari komunitas global yang lebih besar.


Teknologi memungkinkan mereka untuk bekerja, belajar, dan berinteraksi dengan siapa saja di berbagai belahan dunia, menjadikan konsep kewarganegaraan global semakin relevan. Hal ini menjelaskan bagaimana individu berbakat memilih untuk meninggalkan negara asal demi peluang yang lebih baik di luar negeri. Sebagian besar dari mereka enggan kembali karena merasa lebih dihargai dan memiliki kesempatan berkembang lebih besar di tempat lain.


Menurut laporan World Economic Forum (2023), globalisasi dan kemajuan teknologi telah mempercepat perpindahan tenaga kerja berbakat, menciptakan tantangan sekaligus peluang bagi negara asal dan tujuan.


Fenomena lain yang juga menarik dan relevan dengan tagar tersebut adalah Digital Nomadism. Dengan internet yang semakin cepat dan infrastruktur kerja jarak jauh yang berkembang, banyak individu tidak lagi terikat pada satu tempat untuk bekerja. Mereka memilih gaya hidup berpindah-pindah, bekerja dari kafe di Bali, apartemen di Tokyo, atau rumah kecil di pegunungan Swiss.Kebebasan ini bukan hanya tentang lokasi kerja, tetapi juga bagaimana seseorang dapat menjalani hidup yang lebih fleksibel dan sesuai dengan preferensi mereka.


Menjadi warga global berarti memiliki pemahaman yang lebih luas tentang berbagai budaya dan perspektif. Mereka tidak lagi menganggap satu negara atau budaya lebih dominan dibandingkan yang lain, melainkan menyerap nilai-nilai dari berbagai tempat yang mereka kunjungi. Hal ini memengaruhi cara pandang mereka terhadap isu-isu global seperti perubahan iklim, hak asasi manusia, dan keberlanjutan.


Teknologi dan media sosial memainkan peran besar dalam mempercepat fenomena ini. Dengan akses informasi yang luas, anak muda dapat mengikuti perkembangan dunia secara real-time, belajar dari pengalaman individu di berbagai belahan dunia, serta membangun komunitas lintas batas tanpa perlu pertemuan fisik. Jaringan global ini memungkinkan kolaborasi dalam proyek-proyek yang melampaui batas geografis dan budaya.


Akan tetapi perilaku bebas dan fleksibilitas gaya hidup ini, memunculkan tantangan baru. Tidak semua negara memiliki regulasi yang mendukung pekerja jarak jauh. Beberapa negara masih memiliki batasan visa yang membatasi mobilitas. Selain itu, ada tantangan sosial seperti perasaan terputus dari akar budaya sendiri atau kesulitan dalam membangun hubungan jangka panjang. Meski demikian, banyak yang merasa bahwa manfaat dari gaya hidup ini jauh lebih besar daripada tantangannya.


Kisah para digital nomad sering kali menjadi inspirasi bagi mereka yang ingin mencoba gaya hidup ini. Beberapa memulai perjalanan mereka dengan membawa pekerjaan mereka ke luar negeri, bekerja sebagai desainer grafis, penulis lepas, atau pengembang perangkat lunak. Ada pula yang memilih menjadi entrepreneur digital, menjalankan bisnis mereka sendiri tanpa perlu kantor fisik. Mereka berbagi pengalaman tentang bagaimana menemukan tempat tinggal, menghadapi tantangan regulasi, serta menyesuaikan diri dengan budaya dan lingkungan baru.


Seiring berkembangnya fenomena ini, banyak negara mulai melihat potensi ekonomi yang dihasilkan oleh para digital nomad. Negara seperti Portugal, Thailand, dan Estonia telah mengeluarkan visa khusus bagi mereka yang ingin tinggal dan bekerja secara jarak jauh. Menurut laporan OECD (2022). Kebijakan ini membuka peluang bagi lebih banyak individu untuk mengeksplorasi dunia tanpa harus terikat pada sistem kerja tradisional yang mengharuskan kehadiran fisik di kantor.


Di sisi lain, global citizenship juga semakin penting dalam menghadapi tantangan dunia seperti perubahan iklim dan ketimpangan ekonomi. Warga dunia ini sering kali terlibat dalam gerakan sosial, menjadi sukarelawan dalam proyek lingkungan, pendidikan, atau kemanusiaan. Dengan semangat berbagi dan kolaborasi lintas budaya, mereka tidak hanya memperkaya pengalaman pribadi tetapi juga memberikan kontribusi nyata kepada komunitas yang mereka kunjungi.


Bagi mereka yang telah mengadopsi gaya hidup ini, kehidupan nomaden bukan sekadar petualangan, tetapi juga perjalanan menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang diri sendiri dan dunia. Setiap tempat yang mereka kunjungi menawarkan pengalaman baru yang memperkaya perspektif mereka. Di pojok sebuah kafe kecil negeri diatas awan di Toraja, seorang pekerja lepas mungkin menemukan inspirasi dari diskusi dengan sesama remote workers. Di ketinggian Gunung Latimojong, seorang digital nomad mungkin menyelesaikan proyek freelance sambil menikmati ketenangan alam. Di pantai pasir putih Tanjung Bira, seorang entrepreneur digital mungkin mendapatkan ide bisnis baru yang dapat dijalankan dari mana saja.


Fenomena di atas berpotensi untuk memunculkan pertanyaan tentang dampak sosial dan ekonomi dari fenomena ini. Beberapa komunitas lokal merasa terbebani oleh kedatangan digital nomad yang membawa gaya hidup yang berbeda. Di beberapa kota besar dan destinasi wisata, harga properti melonjak akibat meningkatnya permintaan dari para pekerja jarak jauh yang mampu membayar lebih. Hal ini memunculkan dilema etika tentang bagaimana memastikan bahwa gaya hidup nomaden tetap berkelanjutan tanpa merugikan komunitas lokal.


Meski demikian, tidak sedikit yang percaya bahwa dengan kesadaran dan regulasi yang tepat, digital nomadism dapat menjadi kekuatan positif bagi ekonomi global. Para pekerja jarak jauh membawa investasi ke berbagai wilayah, mendorong pertumbuhan bisnis lokal, serta membuka peluang baru bagi industri kreatif dan teknologi. Dengan semakin banyaknya negara yang mengakui manfaat gaya hidup ini, kemungkinan besar akan ada lebih banyak inisiatif yang mendukung keseimbangan antara mobilitas global dan keberlanjutan komunitas lokal.


Gaya hidup digital nomad dan kewarganegaraan global terus berkembang, menciptakan paradigma baru tentang bagaimana manusia dapat hidup dan bekerja dalam era yang semakin terhubung. Dengan semakin banyaknya orang yang memilih gaya hidup ini, dunia pun bergerak menuju masa depan yang lebih inklusif, fleksibel, dan tanpa batas. Di tengah perubahan ini, satu hal yang pasti, adalah cara kita bekerja dan hidup tidak akan pernah sama lagi.


Semoga refleksi spiritual dibulan ramadhan mengajarkan kita bahwa sejauh mana pun kita menjelajah dunia, akar agama, budaya, nilai kebersamaan, dan makna keberkahan tetap menjadi pijakan utama dalam menjalani hidup.


Selamat menunaikan ibadah puasa

di dalam Opini
Humas IAIN Parepare 8 Maret 2025
Arsip