Skip ke Konten

Gagalnya Lembaga Negara Menjaga Bahasa Bangsa

4 Desember, 2024 oleh
Humas IAIN Parepare

Oleh : Suhartina (Dosen Fakuktas Tarbiyah IAIN Parepare


Baru-baru ini, saya mengakses laman ekinerja di https://kinerja.bkn.go.id/login dan langsung disambut oleh kesalahan yang tidak seharusnya ada di laman resmi Badan Kepegawaian Negara (BKN). Kata "silakan" ditulis sebagai "silahkan." Mungkin terlihat remeh, tapi ini jelas bukan kesalahan yang bisa dianggap enteng. Setelah menyusuri lebih jauh, saya menemukan kesalahan yang sama di laman Litapdimas milik Kementerian Agama. Kesalahan ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah ini sekadar ketidaksengajaan? Atau lebih parah lagi, apakah ini bentuk pengabaian terhadap penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Bagaimana mungkin dua institusi besar negara bisa mengabaikan hal dasar seperti tata bahasa?

Kesan sepele ini sebenarnya adalah tanda dari masalah yang lebih serius. Laman resmi pemerintah seharusnya mencerminkan profesionalitas, menjadi contoh penggunaan bahasa yang tepat. Bagaimana kita bisa mengharapkan masyarakat menghargai bahasa Indonesia jika pemerintah sendiri tampak begitu cuek terhadap kaidah bahasa? Ini bukan hanya soal ejaan yang keliru; ini adalah cermin dari sikap abai yang lebih luas terhadap bahasa sebagai identitas bangsa.

Masalah ini tidak hanya berhenti di sana. Di laman Litapdimas, saya menemukan penggunaan kata asing seperti "dashboard," yang seolah-olah tidak ada padanan kata yang layak dalam bahasa Indonesia. Di laman Perpustakaan Nasional, kata "manuscript" digunakan begitu saja. Memang, kita semakin sering menerima istilah asing tanpa berpikir panjang. Namun, pertanyaannya adalah, apakah kita sudah terlalu malas untuk mencari alternatif yang sesuai? Atau lebih buruk lagi, apakah kita tidak peduli?

Penggunaan istilah asing yang tidak perlu semakin lazim, bahkan di ruang publik yang seharusnya menjadi garda depan dalam pelestarian bahasa. Di kantor Fakultas Bahasa dan Sastra salah satu universitas di Makassar, saya menemukan papan pengumuman yang berbunyi "Jangan lupa absen." Sederhana, tapi salah kaprah. "Absen" artinya tidak hadir, sedangkan yang dimaksud di sini jelas "Jangan lupa mengisi daftar hadir." Ironis sekali, kesalahan ini terjadi di lingkungan akademik yang seharusnya menjadi contoh penggunaan bahasa yang baik. Fakta ini menunjukkan bahwa kesalahan bahasa yang tampak kecil sebenarnya mencerminkan masalah yang jauh lebih dalam.

Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi lebih dari itu: bagaimana kita sebagai bangsa memandang bahasa. Sebagai negara dengan kekayaan budaya dan bahasa yang luar biasa, kita justru abai pada penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik. UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara secara jelas mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam komunikasi resmi, tetapi apa gunanya aturan jika implementasinya diabaikan? Bahkan institusi pemerintah yang seharusnya menjadi contoh malah memperlihatkan kelemahan dalam mematuhi undang-undang ini.

Dominasi bahasa asing, terutama di bidang teknologi dan bisnis, semakin memperparah situasi. Banyak istilah seperti "dashboard" dan "manuscript" yang diambil begitu saja dari bahasa Inggris tanpa usaha sedikit pun untuk mencari padanan yang relevan dalam bahasa Indonesia. Padahal, kita punya pilihan, seperti "panel kontrol" atau "naskah," yang lebih cocok digunakan. Mengapa pemerintah tidak berusaha lebih keras dalam mendorong penggunaan bahasa Indonesia yang baik? Apakah kita sudah kalah oleh bahasa asing di negeri sendiri?

Kesenjangan antara amanat UU No. 24 Tahun 2009 dan kenyataan di lapangan begitu jelas. Kita merayakan Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober, mengklaim menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Namun, di luar seremoni, komitmen itu terasa hambar. Hari Sumpah Pemuda seharusnya menjadi pengingat betapa pentingnya bahasa Indonesia, tetapi tahun demi tahun perayaan ini sekadar menjadi upacara tanpa substansi.

Hari Bahasa seharusnya menjadi momentum refleksi. Pemerintah dan masyarakat harusnya lebih peduli dalam menggunakan bahasa Indonesia di ruang publik. Laman-laman resmi pemerintah seperti BKN dan Kemenag harusnya menjadi contoh, bukan malah memperlihatkan kelalaian. Kesalahan ejaan dan penggunaan bahasa asing yang tidak perlu di laman-laman tersebut menunjukkan betapa lemahnya kesadaran kita akan pentingnya menjaga bahasa Indonesia.

Bahasa adalah identitas bangsa. Ketika pemerintah sendiri gagal mematuhi standar bahasa yang baik, itu adalah tamparan keras bagi kita semua. Kesalahan bahasa di ruang publik mencerminkan ketidakseriusan kita dalam menjaga identitas nasional. Pada akhirnya, bahasa Indonesia harus ditempatkan sebagai prioritas dalam setiap aspek kehidupan. Jika pemerintah tidak bisa memberikan contoh yang baik, bagaimana kita bisa berharap masyarakat akan menghargai bahasa Indonesia? Implementasi UU No. 24 Tahun 2009 harus lebih dari sekadar wacana, dan momentum seperti Hari Bahasa harus benar-benar digunakan untuk memperkuat komitmen kita dalam menjaga bahasa Indonesia di tengah arus globalisasi. 

(Tulisan ini telah terbit di Tribun Timur edisi 18 Oktober 2024)

di dalam Opini
Humas IAIN Parepare 4 Desember 2024
Label
Arsip