Virus, Peradaban dan Simbolisme Alam
Oleh : Mahyuddin, M.A (Dosen Sosiologi Agama IAIN Parepare)
Opini— Hari-hari terakhir perhatian umat manusia di lini masa bahkan dunia masih saja berkutat pada soal virus Corona (Covid-19). Betapa tidak, virus ini membawa ekses tersendiri (petaka besar) bagi kehidupan global. Kita dihadapkan pada ancaman kepunahan ras manusia yang nyata di depan mata di semua negara.
Negara-negara di belahan dunia yang terpapar virus tersebut kini mendadak menjadi hantu paling menakutkan di dunia. Orang-orang yang pada mulanya senang bepergian, rutin bertamasya di manca negara, mengagendakan ibadah haji, seketika ciut nyalinya. Hal itu karena di samping adanya pembatasan negara yang ketat, juga lantaran seisi dunia panik dan tergopoh-gopoh menghadapi laju penyebaran pandemi ini.
Pada abad ini, kita menemukan bangsa manusia berada dalam suatu krisis global yang mengerikan, yaitu hadirnya pendemi Corona telah menyebabkan krisis multidimensional. Ia tidak hanya menyentuh aspek kesehatan, tetapi juga memengaruhi dimensi sosial, ekonomi, politik hingga budaya. Kita tidak tahu kapan virus ini akan berakhir namun selalu ada harapan dan optimisme bahwa badai ini akan segera berlalu.
Virus dan Peradaban Manusia
Sejarah manusia adalah sejarah penyebaran virus. Adalah Profesor Jared Diamond, sejarawan dan antropolog kenamaan yang memberi warning tentang itu. Dalam buku tersohornya yang berjudul Guns, Germs and Steel (Bedil, Kuman, dan Baja), ia menyebutkan virus dan kuman merupakan penanda peradaban manusia.
Menurut Jared Diamond, ada tiga yang menjadi penanda eksistensi peradaban manusia, yakni bedil, kuman dan baja. Ia mendasarkan argumentasinya pada fakta sosial masa lalu bahwa setiap kali peperangan dan penaklukan bangsa-bangsa terjadi sering kali hadir secara bersamaan penyakit (virus) yang menyerang umat manusia. Dalam situasi ini, terjadi perubahan lanskap sosial termasuk jatuhnya rezim.
Dalam buku tersebut, Jared Diamond bercerita tentang bangkit dan runtuhnya kejayaan-kejayaan masa lalu. Banyak peradaban yang lenyap dan meninggalkan monumental. Itu bukan hanya karena dilatari penggulingan pemerintahan oleh pemerintahan lain melalui perang, melainkan juga akibat penyebaran pandemi.
Kisah ini tercatat dengan rapi dalam karya Jared Diamond. Ia menuturkan, saat wabah Black Death (flu spanyol) hadir di abad-14, diperkirakan terdapat 200 juta populasi orang Eropa yang tewas mengerikan. Penyakit itu dengan cepat menyebar dan menjangkiti orang-orang dan membunuh seperempat penduduk Eropa di tahun 1346-1352, dengan jumlah korban jiwa hingga 70 juta orang.
Virus yang menyerang umat manusia memang pernah terjadi di berbagai tempat. Albert Camus penerima Anugrah Nobel dengan maha karyanya berupa novel ekstensialis berjudul La Peste yang horor itu, telah memberi ulasan bahwa kematian akibat epidemik adalah salah satu hal yang membinasakan umat manusia secara massal.
Ia mencatat bahwa pada tahun 1720, wabah Sampar melanda kota Marseille, Prancis. Ia telah menewaskan lebih dari seratus ribu para warga di dalam kota itu. Barulah 25 tahun kemudian, jumlah populasi Marseille kembali seperti tahun 1720. Kemudian, wabah Kolera juga pernah menjadi ancaman manusia pada tahun 1820. Ratusan orang tewas akibat wabah ini termasuk tentara Inggris sehingga menarik perhatian Eropa kala itu.
Tidak hanya itu, di tahun-tahun terakhir epidemi influenza juga membunuh 21 juta orang. Belum lagi Kolera, Lepra dan Tuberculosis. Semuanya telah melenyapkan sepertiga populasi bumi. Ada masih banyak lagi pendemi serupa yang pernah terjadi dari masa ke masa. Teranyar, umat manusia juga pernah diterpa virus Mers, SARS, Flu Babi, Ebola, Flu Burung yang tidak hanya mematikan manusia, tetapi juga menggerus nyawa binatang ternak peliharaan.
Rententan peristiwa di atas menunjukkan bahwa betapa virus selalu hadir dalam setiap perkembangan peradaban manusia. Mereka yang hidup di saat wabah mematikan menggila adalah manusia-manusia yang terseleksi dari pandemi. Ini yang disebut Herbert Spencer Survival of the fittest, yaitu hanya individu yang mampu beradaptasi dengan lingkungannya-lah yang akan bertahan. Mereka yang berhasil melewati masa-masa sulit itu, yang akan menciptakan peradaban-peradaban baru di kemudian hari.
Hikmah nyata yang bisa dipetik dari fenomena ini adalah bahwa sekian abad perjalanan virus dan penyakit di permukaan bumi, manusia selalu berhasil mengalahkannya. Tiap kali virus menyerang manusia, melalui teknologi kedokteran dan pengembangan cara mengatasi dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan, manusia selalu saja meraih kemenangan atas virus tersebut. Bersamaan dengan itu, muncul peradaban-peradaban baru umat manusia untuk menjaga eksistensinya di permukaan bumi.
Sudut Gelap Kemajuan
Terlepas manusia telah mampu menciptakan peradaban-peradaban baru di setiap kali muncul virus, harus diakui bahwa umat manusia termasuk yang paling banyak dipersalahkan atas fenomena alam ini. Itu dikuatkan dengan berbagai riset bahwa kemunculan virus dan penyakit-penyakit baru tidak lepas dari kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas ekstraktif manusia terhadap alam.
Virus ini adalah bagian integral alam semesta. Ia merupakan kombinasi alam yang memiliki ekosistem tersendiri. Kehadiran umat manusialah yang mengubah keseimbangan itu, sehingga virus beralih ke organ-organ manusia.
Di balik kemajuan-kemajuan yang telah dicapai umat manusia, memang bisa dirasakan. Itu harus diakui. Peradaban-peradaban yang kita nikmati hari ini adalah buat modernitas yang diciptakan umat manusia. Kita telah menikmati kemajuan, kecepatan, kemudahan dan pertumbuhan yang mengubah segala aspek kehidupan kita.
Tetapi, aspek-aspek yang lain juga menyisakan banyak masalah. Di sana tersimpan sisi gelap tersendiri yang tidak mudah untuk diselesaikan. Itu karena kemajuan juga memberikan ancaman kepada manusia seperti apa yang tengah kita rasakan saat ini. Yaitu ancaman kematian melalui berbagai penyakit.
27 Maret, 2020
oleh
webadmin1
di dalam Berita
webadmin1
27 Maret 2020
Virus, Peradaban dan Simbolisme Alam