Penulis: Selvy Anggriani Syarif, M.Si (Dosen IAIN Parepare)
OPINI— Ruang publik menjadi kebutuhan wajib masyarakat perkotaan. Bukan hanya sebagai sarana penunjang beragam aktivitas, melainkan juga sebagai prasyarat untuk menghadirkan partisipasi masyarakat dalam mengawal beragam kebijakan pemerintah. Sebagai bagian penting agar demokrasi berjalan dengan baik pada sebuah negara (wilayah), Habermas menyebutkan bahwa ruang publik yang egaliter harus hadir (Prasetyo, 2012) dan digunakan oleh setiap lapisan masyarakat, baik dalam melakukan dialog, perundingan ataupun perencanaan yang berkaitan dengan kepentingan bersama.
Seiring bertambahnya waktu, perkembangan terus bergerak, ruang publik terus bermunculan, termasuk di Kota Parepare. Ruang publik hadir dalam bentuk yang lebih variatif, beragam kalangan terlihat hadir di setiap ruang publik tersebut.
Namun, menjamurnya ruang publik yang variatif di Parepare belum bisa menjadi indikator dimanfaatkannya ruang publik untuk menghadirkan forum diskursus tanpa klasifikasi sosial seperti yang diharapkan oleh Habermas.
Sebuah riset kecil dilakukan oleh tim KAPASITAS (Kajian Partisipatif Mahasiswa Untuk Masyarakat) untuk melihat bagaimana anak muda melihat ruang publik yang ada di kota Parepare, baik dalam hal fisik maupun kebermanfaatannya.
Mengapa harus anak muda? Sebab anak muda (menurut WHO, yang berusia antara 15-24 tahun) merupakan penggerak mayoritas beragam kegiatan-kegiatan sosial di masyarakat. Anak muda berada pada usia produktif (Widhyharto, 2014) untuk merencanakan dan melakukan banyak hal, baik itu yang berkaitan dengan kepentingan pribadi atau kelompoknya, maupun kepentingan yang lebih luas.
Pada akhirnya, tidak dapat dipungkiri bahwa anak muda sangat berkaitan erat dengan isu perubahan. Bahkan anak muda bisa mengambil bagian dalam arena yang lebih luas. Di satu sisi mampu menjadi produsen, di sisi lainnya menjadi konsumen.
Dari hasil riset tim KAPASITAS (dengan mengumpulkan kuesioner dari 165 responden anak muda yang berdomisili di Parepare) ditemukan bahwa anak muda cenderung mengunjungi ruang publik untuk makan/minum (40.61%), 35,76% untuk melakukan aktivitas lainnya (olahraga, silaturahmi, istirahat, dll), sedangkan yang memanfaatkan ruang publik untuk bertukar pendapat atau diskusi hanya sebesar 23.64%.
Hal ini menunjukkan bahwa pemanfaatan ruang publik oleh anak muda berkaitan dengan perannya sebagai agen perubahan belum tampak maksimal. Padahal hadirnya ruang publik menurut Habermas merupakan sebagai upaya untuk menciptakan diskursus tanpa sekat untuk membincang beragam kebijakan atau sebagai tempat menyampaikan aspirasi seluruh kalangan masyarakat.
Sekalipun telah banyak ruang publik yang bermunculan di Parepare dengan beragam bentuk, seperti Tanggul, Mattirotasi, Senggol, Lapangan Andi Makassau, atau WARKOP/kafe/tempat makan, tidak diimbangi dengan dimanfaatkannya ruang publik sebagai corong bertukar pendapat atau mengawal kebijakan pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari ruang publik yang muncul lebih didominasi dengan tempat nongkrong santai dan lebih mengarahkan pengunjung untuk bertindak sebagai konsumen.
Meski hanya dalam persentase kecil, 9.87% responden telah memaknai kampus sebagai ruang publik dan 0.66% responden yang mulai memanfaatkan perpustakaan Habibie Ainun sebagai ruang publik yang mudah diakses. Hal ini tentu saja memberikan pekerjaan rumah oleh para pengelola masing-masing tempat (khususnya kampus), agar menciptakan ruang yang kondusif dan egaliter bagi setiap pengunjung sebagai usaha untuk mengawal proses demokrasi.
Diketahui dari hasil sensus penduduk yang dilakukan sepanjang Februari-September 2020, di Indonesia didominasi oleh penduduk usia muda, yaitu 75,49 juta jiwa, setara dengan 27,94 persen dari total populasi penduduk. Kondisi ini menunjukkan suara anak muda akan memegang peranan yang sangat penting saat ini hingga beberapa tahun mendatang. Olehnya itu, penting untuk mengakomodir setiap aspirasi anak muda, termasuk yang berkaitan dengan ruang publik (di kota Parepare).
Pandangan anak muda mengenai ruang publik yang ideal itu seperti apa juga menjadi salah satu instrumen penting yang ingin diketahui dalam riset ini. Ada tiga indikator ideal yang coba diukur, yaitu ruang publik dapat diakses oleh siapa pun, ruang publik difungsikan sebagai tempat bertukar pendapat, dan ruang publik disediakan oleh pemerintah. Dari hasil riset ditemukan bahwa ada 80.61% anak muda yang setuju ruang publik dapat diakses oleh siapa saja, 15.76% yang kurang setuju, dan ada 3.64% yang tidak setuju.
Lalu ada 86.67% anak muda yang bersepakat ruang publik harus dapat dimanfaatkan untuk bertukar pendapat/diskusi, 10.30% kurang setuju, sedangkan 3.03% lainnya tidak setuju. Untuk ketersediaan ruang publik sebagai kewajiban pemerintah, anak muda yang setuju 85.45%, kurang setuju 10.91%, dan tidak setuju ada 3.64%.
Dominasi anak muda yang bersepakat bahwa ruang publik harus dapat diakses oleh siapa saja, dapat difungsikan sebagai ruang bertukar pendapat, dan sebaiknya pemerintah turut andil menyiapkan ruang publik yang setara harus menjadi catatan penting. Suara dan harapan anak muda ini perlu didengar untuk memastikan setiap kalangan mampu menjadi bagian dari berkembangnya Kota Parepare sebagai kota yang Madani bagi setiap warganya.
26 November, 2021
oleh
| No comments yet
webadmin1
di dalam Berita
webadmin1
26 November, 2021
Label
blog kami
Arsip
Masuk to leave a comment
Suara Anak Muda tentang Ruang Publik di Parepare