Pendidikan di Kampus Merdeka
Penulis: Dr. Abdul Halik (Dosen IAIN Parepare)
OPINI— “Likulli marhalatin mutaqallabatuha, likulli marhalatin muqtadhayyatuha, wa likulli marhalatin rijaluha.” (Setiap masa ada tuntutannya, setiap masa ada konsekuensinya, dan setiap masa ada pelaku sejarahnya). Ungkapan ini dapat disematkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Nadiem Makarim, karena di masanya ada tuntutan dan konsekuensi zaman yang harus dijawab.
Gagasan baru pendidikan oleh Nadiem, tampak dalam pernyataannya bahwa “Kemerdekaan belajar dalam artian memberi kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan, dan merdeka dari birokratisasi, dosen dibebaskan dari birokrasi yang berbelit serta mahasiswa diberikan kebebasan untuk memilih bidang yang mereka sukai” (Pikiran Rakyat@com, 8 Desember 2019).
Pernyataan tersebut memberi pressure kepada pengelola pendidikan, agar lebih kreatif, inovatif, dan kompetitif, dalam menjalankan program pendidikan. Kehadiran Nadiem menuai pro-kontra dari berbagai kalangan, karena dinilai “menabrak” pakem dan “kemapanan” sistem pendidikan di Indonesia. Perjuangannya awalnya, meyakinkan stakeholder pendidikan bahwa gagasan yang diusung adalah solusi tepat dan relevan bagi peningkatan mutu pendidikan.
Berbagai permasalahan yang dihadapi pendidikan kontemporer, di antaranya luaran yang kurang kompeten dan kompetitif. Indikatornya adalah tingginya angka pengangguran bagi luaran perguruan tinggi (baca: kampus) sampai di angka 6-7 persen (Data Biro Pusat Statistik 2019). Peluang kerja sarjana di Indonesia dinilai oleh para ahli sangat terbatas, di samping adanya counter-intuitive revolusi industry 4.0 yang mereduksi lapangan kerja, tetapi juga sektor pasar kerja di Indonesia didominasi pertanian dan perdagangan (50 persen dari 130 tenaga kerja) yang tidak memerlukan kualifikasi perguruan tinggi.
Masalah tersebut menjadi input bagi kampus, melakukan restoration sistem, budaya, mutu, relevansi, dan kemitraan. Mendikbud mendorong kampus untuk menciptakan kultur akademik yang link and match dengan tuntutan dan kebutuhan industri kerja.
***
Pendidikan sejatinya memberikan pencerahan kepada segenap insan agar dapat berkiprah dalam kehidupannya. Pendidikan bagian dari kehidupan yang bersifat universal dan mencakup segala aspek. Kajian pendidikan kontemporer berorientasi pada konstruksi tatanan hidup yang humanis dan berkeadaban. Diskursus tersebut menjadi penting melakukan review sistem pendidikan berdasarkan kodrat manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan. Konsep pendidikan merdeka urgen ditinjau dari berbagai perspektif sebagai konstruksi dasar lahirnya kampus merdeka.
Perspektif filosofis, pendidikan merdeka merupakan ‘senyawa genitas’ dengan esensi individu. Setiap individu memiliki hak akan kebebasan memilih dan mendapatkan layanan pendidikan yang hakiki. Manusia terlahir dengan kesadaran ontologis, mengikuti pendidikan secara epistemologis, dan memenuhi ekspektasinya secara axiologis (Halik, 2013).
Melalui pendidikan, individu menjadi lebih dewasa, cerdas potensinya dan matang kepribadianya adalah hak asasi bagi semua manusia (Suhartono, 2007). Oleh sebab itu, negara harus hadir menjadi fasilitator dalam memenuhi hak asasi tiap individu untuk mendapatkan layanan pendidikan. Konsep pendidikan merdeka mengangkat martabat manusia dan mengembalikan posisinya sebagai makhluk mulia, yakni memanusiakan manusia.
Perspektif teologis, kebebasan sudah menjadi isyarat samawi yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya (QS. Al-A’raf: 172), yang oleh Al-Attas menyebut dapat dilacak sejak primordial covenant (Suhelmi, 2001). Potensi fitrah yang dimiliki harus dikembangkan agar dapat fungsional dalam membangun kehidupan yang harmoni (Mualimin, 2017).
Setiap manusia terlahir dengan potensi besar yang dititipkan adalah pendengaran, penglihatan, dan hati, sebagai instrument untuk mengetahui dan memahami hidup lebih bermakna dan patut disyukuri (QS. An-Nahl: 78). Kehadiran pendidikan menjadi wadah dalam menyemai dan merajut masa depan peserta didik menuju pengabdian totalitas, sebagai ‘abid dan khalifatan fil ardh (Halik, 2016).
Perspektif psikologis, belajar merupakan perubahan prilaku, baik melalui fisiologis, pematangan, maupun belajar (Morgan, 1961). Setiap individu memiliki identitas dan keunikan masing-masing, baik dari aspek potensi, bakat, minat, maupun gaya belajarnya (Nidawati, 2018). Ekspektasi tiap individu merasakan kebebasan dalam belajar sebagai wujud pemenuhan kebutuhan psikis.
Kekangan dalam pendidikan menjadi tragedi hidup peserta didik, berimplikasi pada ‘sumbatan’ psikis dan ‘terpenjara’. Paradigma baru pendidikan menciptakan sistem yang mereduksi ‘kegalauan’ peserta didik, sarana curahan gundah-gulana, dan sebagai “destinasi wisata” untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Prinsipnya esensi pendidikan adalah proses humanisasi dan pembebasan (Freire, 2016).
Perspektif sosio-antropologis, kebebasan individu sebagai bagian dari struktur fungsional di masyarakat (lihat Gitzer, 1985). Sistem sosial disusun secara fleksibel dan akomodatif dengan menjaga identitas dan kebebasan tiap individu. Pendidikan sebagai sub-sistem sosial sejatinya menegakkan prinsip-prinsip consensus sosial dengan tetap menghargai individu sebagai unit otonom dan memiliki kebebasan (Adiwikarta, 2016). Sistem pendidikan dalam konteks sosio-antropologis, memberikan guarantee tiap individu mendapatkan kebebasan dalam mempertahankan identitas dan kearifan masing-masing demi eksistensi sosial.
Pendidikan merdeka bermakna sebagai instrument pengokohan kebebasan individu melalui hak dan kewajiban, agar tetap solid dan fungsional dalam kehidupan sosial.
***
Gagasan kampus merdeka oleh Mendikbud yang dituangkan dalam bentuk kebijakan merupakan hal menarik untuk dikaji dan dikritisi. Pembaharuan bagian dari kultur perguruan tinggi yang lahir dari proses nalar-dialektis melalui contemplation dan research. Kebijakan Mendikbud tentang Kampus Merdeka patut diapresiasi sebagai sebuah langkah maju dalam menjawab kompleksitas masalah bangsa.
7 Maret, 2020
oleh
webadmin1
di dalam Berita
webadmin1
7 Maret 2020
Pendidikan di Kampus Merdeka