Skip ke Konten

Lontara Paseng: Spirit Etika Berkomunikasi

9 Maret, 2020 oleh
webadmin1

Lontara Paseng: Spirit Etika Berkomunikasi
Oleh : Agus Muchsin (Dosen IAIN Parepare)

OPINI— Engka eppa cappa’ bokonna to laoe, iyanaritu saisanna : Cappa’ lilae, Cappa’ orowanewe, Cappa kallangnge, enrengnge Cappa’ kawalie.

Terdapat empat ujung yang menjadi bekal bagi orang yang bepergian yaitu : Ujung lidah, Ujung kelelakian (ujung kemaluan), Cappa Kallang (Ujung pena/Polpen) dan Ujung badik/kawali (senjata).

Bugis merupakan bagian dari suku di Indonesia, turut berkontribusi banyak terhadap corak budaya bangsa. Satu diantaranya adalah lontara paseng, menyimpan banyak nilai bijak bagi orang Bugis. Kalimatnya sederhana, namun artikulasi pemilihan katanya memiliki nuansa filosofis cukup dalam.

Seperti dalam salah satu pesan bijak di atas, menyebutkan terminologi “bokongna to laoe” artinya bekal orang bepergian. Saat melakukan perjalanan, tradisi orang bugis lebih awal mempersiapkan bekal. Uniknya bekal bukan dalam pemaknaan barang konsumtif semata melainkan terdapat juga bekal berupa karakter orang bugis.

Kajian integrasi Islam dan Budaya kali ini melacak term “bokong” secara teks dalam bahasa arab al zad (bekal). Allah swt berfirman dalam QS. Al Baqarah (2) : 197
وتزودا فان خير الزاد التقوي
Terjemahnya
Berbekal dirilah kalian karena sesungguhnya sebaik bekal adalah taqwa.

Kronologi turunnya ayat tersebut, dijelaskan oleh al Aufa melalui riwayat Ibnu Abbas:
كان أناس يخرجون من أهليهم ليست معهم أزودة ، يقولون : نحج بيت الله ولا يطعمنا . فقال الله : تزودوا ما يكف وجوهكم عن الناس .
Artinya:
Orang-orang ramai keluar meninggalkan keluarga mereka namun tidak memiliki bekal. Mereka berkata, kami menunaikan haji di Baitullah sementara kami tidak akan makan (tidak memiliki bekal) maka Allah swt berfirman dalam hadits qudsi, berbekallah kalian dengan sesuatu yang menutupi wajahmu dari manusia (karena malu).

Rasa malu pada teks hadis di atas, jika ditelusuri melalui metode interpretasi munasabah (kolaboratif) maka yang dimaksudkan adalah taqwa. Secara gramatikal taqwa berasal dari fi’il madhi tsulatsi mazid وقي (memelihara). Kata ini kemudian mengalami tambahan dua huruf (مزيد بحرفين), menjadi اتقي (memelihara). Relevansi ayat dengan pesan lontara di atas, ada pada penjabaran terhadap proses pemeliharaan.

Bekal mesti dipelihara dan tidak digunakan secara bebas, ibarat bekal makanan tidak akan di buka saat lapar, maka keempat bekal yang dimaksud tidak akan dibuka terkecuali dibutuhkan. Ke empat bekal yang dimaksud adalah: Cappa’ lilae, Cappa’ orowanewe, Cappa kallangnge, enrengnge Cappa’ kawalie.

Dari empat yang dikemukakan maka pada tulisan kali ini hanya mengupas satu di antaranya adalah cappa lilae (ujung lidah), sebagai simbol komunikasi manual yang umumnya dilakukan oleh hampir setiap individu.

Cappa lila (ujung lidah)

Manusia adalah hewan yang berbicara (الانسان هو الحيوان الناطق). Sederhananya, manusia itu pemantik. Orang bugis menilai kalau lidah akan banyak membantu menyelesaikan problematika dalam perjalanan, komunikasi antara individu lain mesti melalui penguasaan bahasa.

Namun selain dari itu komunikasi yang dimaksud adalah disampaikan secara santun dan beretika “malebbi warekkadanna, makkiade ampena”.

di dalam Berita
webadmin1 9 Maret 2020
Label
Arsip