IAIN Parepare--- Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) menyelenggarakan International Conference on Islamic, Studies, Education and Civilization (ICONIS) ke-2 tahun 2023 dengan mengangkat tema ‘The Religious Intersection of Culture and Science: Ethical Practices and Sustainable Growth’, di Auditorium IAIN Parepare, Kamis (14/12/2023).
Conference ini digelar secara online dan offline dengan menghadirkan pembicara luar biasa dari luar negeri, Dr. Muthahhir Arif, Lc., MA. (Imam and Preacher, USA), Prof. Dr. Sakinah Shukri (Senior Lecture at MSU Malaysia), Khilola Jafarova (Bukhara State University) Uzbekistan, serta empat guru besar IAIN Parepare sebagai Invited Speaker, di antaranya Prof. Dr. Hannani, M.Ag (Rektor IAIN Parepare), Prof. Dr. H. Sudirman L, M.H. (Senior Lecturer at IAIN Parepare), Prof. Dr. Siti Jamilah Amin, M.Ag. (Senior Lecturer at IAIN Parepare) dan Prof. Dr. Hj. Hamdanah, M.SI.(Senior Lecturer at IAIN Parepare).
Rektor IAIN Parepare, Hannani, sebagai pembicara pertama menyampaikan bagaimana kearifan lokal yang akhir-akhir ini hanya sekadar menjadi simbol belaka pada generasi muda, padahal sesungguhnya kearifan lokal yang ada di nusantara ini, khususnya di Sulawesi Selatan menjadi pegangan atau pandangan hidup bagi masyarakat dahulu.
“Kearifan lokal ini kalau dimaknai dan dipelajari kembali oleh generasi kita sekarang itu, insyaallah bisa menjadi tetap terpelihara dan tetap bisa menjadi panduan hidup bagi kita semua. Salah satu yang membuat masyarakat Jepang itu maju karena dia berpegang teguh terhadap budayanya. Di Jepang itu, begitu ibu-ibu itu telah menikah maka dia fokus pada rumah tangganya, dia mengurus anaknya, beda dengan kita disini kalau ibu-ibu di sini ketika dia sudah menikah dia mau berkarier, kalau di Jepang apapun pekerjaannya ketika dia sudah menikah itu harus tinggal di rumah dan mengurus anak,” ucap Hannani.
Lebih lanjut, Hannani menjelaskan di Sulawesi Selatan mempunyai tradisi yang kuat yang harus dijadikan pegangan dalam menjalani kehidupan, yaitu tradisi walasuji.
“Walasuji itu simbol dari sulapa eppa yang bentuknya kotak-kotak, maknanya, sesungguhnya orang yang menikah dengan memakai walasuji berpesan ‘narekko meloko madeceng rilinoe parakai sulapa eppa e, atau appunai sulapa eppae’. Artinya, kalau mau selamat dunia dan akhirat maka pergeganglah terhadap sulapa eppa. Sulapa eppa itu adalah simbol dari kemanusiaan kita, kalau dalam bahasa Bugis itu, manusia itu terdiri dari empat unsur, yaitu unsur api, tanah, air dan udara. Keempat unsur ini dalam sulapa eppa harus diseimbangkan ketika dalam kehidupan kita,” tutupnya. (tiny/mif)
International Conference, Rektor Sebut Kearifan Lokal Perlu Dijaga