Penulis: Budiman Sulaeman, S.Ag., M.HI (Dosen IAIN Parepare)
OPINI— Fisik (tubuh, raga) dan metafisik (rohani, spiritual) manusia merupakan dua unsur yang menyangga hidupnya. Hal ini diyakini hampir semua agama yang ada di muka bumi ini. Namun, unsur metafisiklah yang menjadikan manusia punya nilai lebih atau nilai tambah dalam melakoni hidup dan kehidupannya. Ini berarti, nilai tambah manusia dalam kehidupan, sejatinya, tidak ditakar dari unsur fisiknya, tetapi ditentukan oleh unsur metafisiknya, yaitu ruh dan perangkat-perangkat lunak atau unsur ‘dalam’ lainnya.
Nilai manusia, memang, tidak terlalu mahal jika ditakar dari fisiknya. ‘Hanya’ jutaan rupiah. Mayat yang diawetkan (cadaver) dan dipakai pembelajaran anatomi, bedah dan otopsi mayat atau praktikum mahasiswa di laboratorium Fakultas Kedokteran pada kisaran harga 5-20 juta.
Prof. Muhammad Tholchah Hasan mengutip pandangan Prof. Muhammad Al-Ghazali, salah seorang cendekiawan dan ulama Mesir dalam bukunya yang berjudul Nazharât al-Qur’ân bahwa fisik manusia harganya sangat murah. Menurutnya, andaikata dihitung atau diuraikan unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh manusia sangat murah dan tidak ada nilainya. Dalam setiap raga manusia, kira-kira ada unsur lemak yang kalau dikumpulkan hanya cukup membuat tujuh potong sabun kecil-kecil.
Ada unsur karbon yang kalau dikumpulkan (dijadikan satu) kira-kira hanya untuk membuat beberapa potong isi pensil. Ada lagi unsur fosfor (besi) yang kira-kira paling banyak bisa dipakai untuk membuat 120 batang korek api. Ada juga unsur salt, garam magnesium yang cukup yang untuk minum obat sakit perut sekali. Di samping itu, ada unsur zat besi yang kira-kira bisa dipakai untuk membuat satu potong pasak ukuran sedang, Selain itu, ada unsur kapur yang hanya bisa dipakai untuk mengapur tembok berukuran kira-kira 1×1 meter. Ada lagi unsur belerang yang kira-kira bisa dipakai untuk menyiram dan membersihkan kutu seekor anjing. Yang terbanyak adalah unsur air kira-kira 10 galon.
Prof. Muhammad Al-Ghazali memiliki pandangan sebagaimana dikutip oleh Prof. Muhammad Tholchah Hasan dalam bukunya Dinamika Kehidupan Religius, jika seluruh unsur atau bahan kimiawi yang dikandung tubuh manusia (sempurna) itu dijual atau dibeli dari sebuah toko, niscaya tidak akan mengeluarkan banyak uang.
Lalu apa yang membuat nilai manusia bisa tinggi dan dihargai mahal? Jawabannya karena adanya unsur metafisik: ilmu, agama, dan moral. Itu sebabnya, agama Islam memandang manusia sebagai makhlûq[un] karîm[un] (makhluk unggulan). Dalam Alquran disebut wa laqad karramnâ banî âdama (sungguh telah Kami muliakan anak keturunan Adam).
Kemuliaan manusia terletak pada keseluruhan kepribadiannya yang meliputi kemampuan intelektual, moral dan spiritualnya. Ketiga kemampuan ini membuat manusia terhormat, tidak ada di atas manusia kecuali Tuhan. Sebagai contoh, dari segi akal, manusia memiliki akal kreatif. Sedangkan malaikat mempunyai akal normatif. Alquran tidak pernah menyebut malaikat dengan yatafakkarûn (berpikir).
Kalau pun disebut, dalam beberapa ayat, kemampuan malaikat adalah ya’lamûn (sekadar tahu) atau ya’qilûn (bisa mendayagunakan atau memfungsikan potensi nalarnya). Kalau diilustrasikan, misalnya pernyataan “gedung itu bukan rumah”. Pengetahuan ini disebut ya’lamûn, tetapi belum tentu ya’qilûn. Ia baru ya’qilûn kalau mengetahui bahwa gedung tersebut buatan arsitektur ini, dibuat tahun sekian, atau kekuatan bangunannya begini-begitu. Akan tetapi, ia belum yatafakkarûn, sebab belum bisa memikirkan bahwa gedung A lebih baik daripada gedung B, rumah A lebih kuat daripada rumah B. Yatafakkarûn hanya disifatkan oleh Alquran kepada manusia.
Di samping nalar kreatif, manusia juga diberi konsesi oleh Tuhan untuk memiliki pengetahuan kreatif: wa ‘allama âdama al-asmâ’ kullahâ. Ini berarti Nabi Adam memiliki ilmu yang bersifat interdisipliner. Potensi akal Nabi Adam yang kreatif diisi dengan pengetahuan kreatif. Malaikat berkeberatan atas rencana Tuhan menjadikan manusia Nabi Adam sebagai khalifah (duta) Tuhan di bumi.
Malaikat tahu bahwa manusia akan menimbulkan keruwetan, kerusakan dan menumpahkan darah di atas bumi. Dari sisi ini, malaikat benar, tetapi malaikat luput melihat sisi lain manusia. Tidak berpikir antisipatif bahwa manusia bisa menjadi makhluk yang berbudaya, yang membawa kemajuan-kemajuan di berbagai bidang dengan akal kreatifnya, yang berbeda dengan malaikat yang hanya memiliki nalar normatif dan sifatnya statis: lâ ‘ilma lanâ illâ mâ ‘allamtanâ (kami tidak tahu apa-apa selain yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Keunggulan Nabi Adam bukan terletak pada kesempurnaan fisik-biologisnya, melainkan pada kapasitas keilmuannya.
Kelebihan lain manusia seperti disebutkan Alquran adalah manusia sebagai “puncak penciptaan”, laqad khalaqnâ al-insâna fî ahsani taqwîm. Dari postur tubuh, perawakan, dan struktur tubuh manusia sungguh sangat sempurna. Kepala manusia berada di atas yang dilengkapi dengan kemapuan berpikir yang berada di otak. Karena berada di atas, maka kepala berfungsi sebagai pusat komando. Kemudian di bawahnya ada perut sebagai ‘dapur’ atau ‘logistik’. Baru kemudian mobilitasnya yang menggerakkan segala anggota tubuh berada di bawah, seperti kaki.
Dengan struktur demikian ini maka semestinya pusat komando manusia berada di atas, yaitu otak, bukan di tengah (perut) apalagi di bawah perut. Kejatuhan manusia disebabkan karena menuruti kemauan nafsu yang bersarang di perut dan bawah perut (kelamin).
Berbeda dengan struktur tubuh binatang: antara kepala, perut, dan kelamin sama-sama tidak jelas mana yang dominan. Kalau manusia tidak memiliki arah yang jelas mana yang menjadi pusat komando hidupnya, maka tidak jauh dari perilaku binatang. Dalam bahasa Alquran perilaku demikian itu disebut ulâika kal an’âmi (mereka seperti binatang), bahkan bisa jatuh derajatnya melebihi binatang, bal hum adhall.
Selain struktur tubuhnya yang sempurna, manusia dilengkapi oleh Tuhan dengan satu komponen ilahiyyyah, suatu unsur yang mempunyai fungsi menghubungkan manusia dengan Tuhan, yaitu ruh.
Bagaimana dengan fungsi manusia? Secara umum ada dua fungsi manusia: penyembahan (‘abdullah) dan mandataris Allah (khalifatullah). Fungsi manusia tersebut tidak bisa lepas dari keadaan dan realitas kedudukan manusia sebagai makhluk biologis, makhluk istimewa dan makhluk sosial.
Perhatian yang sama berlaku dalam kaitan ibadah dengan fungsi khalifah manusia. Islam sangat memerhatikan bahwa manusia yang akan diajak untuk mengembangkan peradaban atau masalah-masalah bersama itu memiliki aspek biologis. Sebagai contoh, perintah nikah dianjurkan oleh agama karena berkenaan dengan kebutuhan biologis manusia. Bahkan dalam memilih pasangan pun, menurut sebuah hadis sahih, yang pertama kali ditekankan adalah faktor kekayaan (li mâlihâ), baru beranjak ke face atau fisik (li jamâlihâ). Sebab aspek fisik lebih cepat menjadi pertimbangan-pertimbangan manusia sebagai makhluk biologis.
Setelah mempertimbangkan aspek fisik, baru kemudian memperhatikan dan mempertanyakan “siapa sih dia” (asal usulnya, li nasabihâ). Setelah itu baru kemudian mempertanyakan masalah “apa dan bagaimana agamanya” (li dînihâ). Pemenuhan fungsi khalifah tidak boleh mengabaikan kedudukan manusia sebagai makhluk biologis dan makhluk sosial.
Perhatian Alquran terhadap kedudukan dan fungsi manusia tersebut karena mengingat bahwa aktsaru n-nâsi, “sebagian besar manusia” kurang memerhatikan fungsi dasar dan kedudukannya dalam kehidupan. Pada konteks ini kalimat samî’an bashîran merupakan suatu metafora dari pengertian kemampuan berpikir.
Akhirnya, manusia memiliki nilai lebih apabila ia memaksimalkan unsur metafisiknya yaitu ilmu, agama, dan moralnya. Bukan fokus memenuhi kebutuhan fisiknya lalu melupakan fungsinya sebagai ‘abdullâh dan khalîfatullâh serta melalaikan kedudukannya sebagai makhluk biologis, makhluk istimewa dan makhluk sosial, yang dalam terminologi Tunas Integritas adalah manusia-manusia yang tidak silau dengan WOW Effects, karena Ruh, Rasa, Raga dan Rasionya telah berfungsi secara efektif, seimbang, proporsional, dan optimal.
29 فبراير, 2020
بواسطة
Ade Musytahun Wahid
في رأي
قراءة التالي
Memaknai Kembali Bhinneka Tunggal Ika
Manusia “Ragawi dan Rohani”