Sabda Langit di Penghujung Rajab
oleh: Budiman Sulaeman, S.Ag., M.HI (Dosen IAIN Parepare)
OPINI—- Ada peristiwa agung yang pernah dialami oleh Baginda Nabi Muhammad saw. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-11 setelah beliau dilantik menjadi Rasul (ba’d al-bi’tsati). Peristiwa itu dikenal dengan isrâ’ Nabi dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di Palestina, dan mi’râj beliau ke sidratil muntahâ. Beragam kejadian luar biasa yang diperlihatkan Allah kepada Nabi. Karena itu, dalam memahami peristiwa Isra’ Mi’raj ini, pendekatan îmânî (rasa atau keyakinan)-lah yang sejatinya digunakan, bukan pendekatan aqlî (nalar).
Peristiwa yang dialami Nabi bukan mimpi. Mengapa? Andaikata mimpi (hanya ruh, tanpa jasad), dalam pandangan Mutawallî Sya’râwî, tentu peristiwa tersebut tidak menimbulkan kegaduhan dan perdebatan. Kalau saya berkata: “Tadi malam sesudah shalat isya saya berjalan kaki dari Parepare ke Makassar, misalnya, dan kembali dengan berjalan kaki serta tiba di Parepare sebelum shalat subuh”, maka pernyataan itu tidak akan disoalkan, kalau saya mengatakan: “Hanya dalam mimpi”. Itu sebabnya, Allah mengawali ayat tentang berita isrâ’-nya Nabi dengan kata “subhâna” (Mahasuci) Allah yang jauh dari kekurangan.
Bagaimana mungkin, menurut hitungan akal, jarak antara Mekah dan Palestina apabila menggunakan fasilitas kendaraan unta dapat ditempuh sebulan lamanya. Sementara Nabi hanya membutuhkan waktu laylan (semalam, tidak cukup satu malam). Mengapa bukan di siang hari? Karena laylan merupakan waktu termulia (afdhal al-awqât), kondisi teragung (asyraf al-hâlât), dan waktu terhormat untuk mengekspresikan cinta seorang hamba kepada Allah (a’azz al-munâjât). Bahkan Nabi dalam perjalanannya didampingi malaikat Jibril yang tercipta dari cahaya dan kecepatan cahaya 300.000 km/detik. Sementara kecepatan malaikat 2.816.358 kali kecepatan cahaya atau hampir 10 juta km/detik. Subhânallâh…!!!
Membincang peristiwa isrâ’ mi’râj tentu tidak bisa lepas dari membincang mengenai shalat lima waktu. Saat mi’râj, Nabi menyaksikan cara beribadah para malaikat. Nabi melihat ada sekelompok malaikat yang ibadahnya hanya berdiri. Ketika mengalihkan pandangannya ke tempat lain, Nabi menyaksikan jamaah malaikat beribadah dengan cara rukuk. Di kesempatan lain, nabi memperhatikan kumpulan malaikat beribadah dalam keadaan sujud. Model ibadah para malaikat yang disaksikan Nabi merupakan perwujudan ketaatan para malaikat kepada Allah dalam bentuk memuji kebesaran dan keagungan Allah.
Cara ibadah malaikat yang beragam itulah yang membuat hati Nabi membatin untukmenjadikan ibadah para malaikat sebagai kado spesial buat umatnya. Lalu Allah menghimpun seluruh ibadah malaikat dalam shalat lima waktu. Bahkan dalam satu rakaat saja shalat, pelaku shalat telah menggabungkan seluruh ibadah malaikat yang jumlahnya hanya Allah yang mengetahuinya saking banyaknya. Karena itu, Nabi saw. mengingatkan orangtua agar menanamkan dan membiasakan anak untuk melaksanakan shalat pada usia dini. Nabi saw. bersabda:
مُرُوْا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ اَبْنَاءُ سَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ اَبْنَاءُ عَشْرٍ
Artinya:
“Suruhlah anak-anakmu melaksanakan shalat lima waktu pada usia tujuh tahun, dan pukullah (kalau mereka berani meninggalkan) shalat pada usia sepuluh tahun”.
Tantangan berat bagi orangtua di era globalisasi saat ini adalah akibat negatif dan buruk yang ditimbulkannya, walaupun di satu sisi tidak dapat dinafikan bahwa ia membawa banyak hal positif dan manfaat. Akibat pengaruh negatif dan buruk globalisasi, moral sebagian anak-anak kita rusak. Padahal sejatinya, inti globalisasi adalah persaingan, dan hakikat persaingan adalah mutu. Namun sayangnya, mutu yang dipahami hanya sebatas sisi kecerdasan intelektual anak. Orientasi pendidikan, dalam kenyataannya lebih berfokus pada pendidikan otak, melupakan pendidikan watak.
4 مارس, 2020
بواسطة
webadmin1
في أخبار
قراءة التالي
Kuliah Perdana, Warek I Laporkan Persiapan Akademik
Sabda Langit di Penghujung Rajab