Humas IAIN Parepare -- Petuah Bugis, "Naiya Adeè Passappona Tau Mawatangngè, Sanrèsengna Tau Madodongè", memiliki makna mendalam dalam kehidupan bermasyarakat. Petuah tersebut dipasang di ruang lobi Gedung Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum (Fakshi), IAIN Parepare.
Apa sesungguhnya makna dan petuah bugis tersebut? Berikut penjelasan Dekan Fakshi, IAIN Parepare, Dr Rahmawati saat diwawancarai di ruang kerjanya pada Kamis, 30 Januari 2025.
Dr Rahmawati mengatakan, dalam terjemahan bebas, petuah di atas berarti, “Hukum adalah pembatas bagi orang kuat dan menjadi sandaran bagi orang yang lemah.” Filosofi ini mencerminkan semangat keadilan yang menjadi inti kehidupan masyarakat Bugis sejak dahulu kala.
Ia menjelaskan, nilai-nilai luhur petuah ini masih relevan di era modern. “Masyarakat Bugis menjadikan hukum sebagai pedoman yang menjaga keseimbangan sosial. Hukum bukanlah alat kekuasaan, tetapi pelindung bagi semua lapisan masyarakat, termasuk mereka yang rentan,” ungkapnya.
Menurut Dr. Rahmawati, petuah ini menggambarkan dua fungsi utama hukum dalam kehidupan masyarakat Bugis. Pertama, hukum sebagai passappona (pembatas) yang memastikan orang-orang dengan kekuasaan atau kekuatan tidak bertindak sewenang-wenang. Kedua, hukum sebagai sanrèseng (sandaran) yang memberikan rasa aman dan keadilan kepada mereka yang berada di posisi lemah.
Penerapan Filosofi dalam Sejarah Bugis
Dr Rahmawati mengatakan, sejarah mencatat bagaimana orang Bugis menempatkan hukum sebagai pilar penting dalam tata kelola masyarakat. Misalnya, pada masa kerajaan-kerajaan Bugis seperti Kerajaan Bone, Kerajaan di Wajo, Sawitto, Bacukiki dan kerajaan lainnya di tanah bugis. Saat itu, katanya, adat dan hukum dijalankan untuk melindungi rakyat dari ketidakadilan. Para arung (pemimpin), sambungnya, selalu mengedepankan musyawarah dan mematuhi hukum adat, meskipun mereka memiliki kekuasaan besar.
“Orang Bugis sangat menghormati prinsip ade’ (adat) dan pangngaderreng (hukum adat). Ini menunjukkan bagaimana hukum telah menjadi alat kontrol sosial yang mengatur relasi antara individu dan komunitas,” kata Rahmawati.
Ia menambahkan bahwa tradisi ini menunjukkan betapa tingginya kesadaran hukum masyarakat Bugis sejak zaman dahulu.
Contoh Praktis di Tengah Masyarakat
Dr Rahmawati menjelaskan, petuah bugis juga terlihat dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat Bugis modern. Misalnya, dalam penyelesaian sengketa tanah atau konflik keluarga, mereka lebih memilih pendekatan hukum adat sebelum membawa kasus ke pengadilan formal. “Ini menunjukkan bahwa masyarakat Bugis percaya pada keadilan yang tidak memihak, baik melalui hukum adat maupun hukum negara,” jelas Rahmawati.
Salah satu contoh lainnya adalah pelibatan tokoh adat dalam mendamaikan dua pihak yang berseteru. Tokoh adat ini bertindak sebagai penegak hukum moral yang memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya adil, tetapi juga membawa kedamaian bagi semua pihak.
Konteks Islam dalam Petuah Bugis
Petuah Bugis ini juga memiliki keselarasan dengan ajaran Islam. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
"Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap kedua orang tua dan kerabatmu. Jika dia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya." (QS. An-Nisa: 135).
Dr. Rahmawati menegaskan bahwa Islam mengajarkan prinsip keadilan universal yang tercermin dalam petuah Bugis tersebut. “Hukum Islam dan adat Bugis sama-sama mengutamakan keadilan sebagai nilai utama. Bahkan Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, ‘Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian binasa karena mereka menerapkan hukum hanya kepada orang lemah, tetapi membiarkan orang kuat.’ (HR. Bukhari dan Muslim). Ini selaras dengan nilai yang kita anut dalam budaya Bugis,” jelasnya.
Menjaga Tradisi di Era Modern
Di era modern, petuah ini menjadi panduan moral bagi banyak orang Bugis yang bekerja di bidang penegakan hukum. Sejarah mencatat banyak tokoh Bugis yang sukses menjadi hakim, pengacara, dan aparat hukum karena menjunjung tinggi prinsip ini. Mereka tidak hanya menjadi penegak hukum, tetapi juga menjadi pelindung bagi kaum lemah.
Dr. Rahmawati menekankan pentingnya menanamkan nilai-nilai ini kepada generasi muda. “Sebagai bangsa yang kaya budaya, kita harus mengajarkan bahwa hukum adalah alat untuk menciptakan harmoni, bukan sekadar alat kekuasaan. Mahasiswa di Fakshi, IAIN Parepare misalnya, diajarkan untuk memahami hukum tidak hanya dari sisi teknis, tetapi juga dari sisi moral dan kemanusiaan,” tuturnya.
Rahmawati menambahkan, tradisi Bugis yang mengakar dalam nilai keadilan menjadi bukti bahwa hukum adalah bagian integral dari kehidupan sosial. "Prinsip ini tetap relevan, mengingat tantangan zaman yang semakin kompleks, terutama dalam menghadapi ketimpangan sosial dan penyalahgunaan kekuasaan," tutup Rahmawati. (*)
Penulis : Alfiansyah Anwar (Dosen HPI, Fakshi, IAIN Parepare)
Petuah Bugis di Fakshi: Hukum, Pembatas Kuat dan Sandaran Lemah