No Hijab Day vs World Hijab Day

5 February, 2020 by
webadmin1
| No comments yet

Oleh : Dr. Rahmawati, M. Ag.

Kaprodi Hukum Keluarga Islam (HKI) Pascasarjana IAIN Parepare

OPINI — Tulisan ini diangkat sebagai tanggapan terhadap maraknya kampanye “No Hijab Day” digelar melalui media sosial. Dengan menetapkan 1 Februari sebagai “Hari Tak Berjilbab”, mereka menamakan dirinya hijrah Indonesia dengan membuat sayembara agar Muslimah rame-rame posting foto tanpa hijab.

Alasannya, membendung Arabisasi, Hijabisasi dan mempertahankan budaya bangsa.

Kampanye “No hijab Day” yang dipelopori oleh Yasmine Mohammad ini, dapat dikatakan gerakan tandingan dengan World Hijab Day (WHD) yang didirikan oleh Nazma Khan pada 2013 di Bronx, New York, Amerika Serikat.

World Hijab Day atau Hari Hijab Dunia adalah acara tahunan yang juga diadakan pada tanggal 1 Februari setiap tahun di 140 negara di seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk mendorong wanita dari semua agama dan latar belakang untuk memakai jilbab.
Dua gerakan yang paradoksal tapi menjadi menarik dan penting didiskusikan karena seruan untuk menjalankan tradisi kegamaan justru lahir dari komunitas dari sebuah negara yang dikenal sekuler dan liberal seperti Amerika serikat, sementara ajakan untuk meninggalkan tradisi keagamaan muncul dari negara mayoritas muslim. Apa yang keliru dengan fenomena ini?

Perlu analisis yang mendalam untuk menjawab persoalan ini. Setidaknya latar belakang dari dua gerakan ini lahir dari konteks yang berbeda. World Hijab Day (WHD) lahir dari perlakuan tidak adil, diskriminatif terhadap muslimah karena hijab yang dikenakannya. Sering dijuluki Batman, Ninja dan bahkan dipanggil Osama (Osama bin Laden).

Untuk mengakhiri perlakuan tersebut Nazma kemudian berinisiatif membuat gerakan sehari berhijab bagi perempuan mana saja. Harapannya, supaya mereka tahu bagaimana rasanya dilecehkan. Gerakan ini mendapat apresiasi luas. Saat ini, sedikitnya 116 negara yang memperingatinya.

Sedangkan gerakan no hijab day lahir dari konteks kebebasan berpikir. Meskipun pada awalnya gerakan ini merupakan wujud pertentangan oleh kaum feminis muslimah di negara-negara Islam terhadap World Hijab Day dengan membuat gerakan tandingan bertajuk #nohijabday, namun gerakan ini telah masuk ke Indonesia. Sebuah Negara berpenduduk mayoritas Islam dan memiliki ragam pemikiran keagamaan dari berbagai kelompok ormas keagamaan.

Makna hijab itu sendiri adalah kain penghalang, penutup atau pemisah wanita agar tidak terlihat oleh laki-laki. Pada masa sekarang sering diidentikkan jilbab, yaitu busana wanita Islam. Sebagian ulama berpendapat, jilbab mempunyai makna pakaian gamis atau pakaian yang lebar. Maksudnya adalah pakaian panjang berbentuk baju kurung yang longgar yang menutupi kepala, dada dan sebagainya (kecuali yang dibolehkan tampak).

Hijab atau jilbab dalam konteks pemikiran keagamaan di Indonesia terbelah menjadi dua. Pertama, pandangan yang beranggapan bahwa hijab merupakan bagian dari budaya dan sebatas identitas keagamaan. Konsekuensi dari pandangan ini membolehkan wanita muslimah tak berjilbab. Artinya, hijab bukanlah sebuah kewajiban. Di antara tokoh yang berpandangan demikian adalah Dr Muhammad Quraisy Shihab dan Shinta Nuriya.

Menurut M Quraisy Shihab, terjadi 3 perbedaan pendapat tentang pakaian wanita muslimah. Pertama, seluruh anggota badan adalah aurat yang mesti ditutupi. Kedua, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Ketiga, cukup dengan pakaian terhormat. Dalam hal ini, Pak Quraish lebih condong pada pendapat yang terakhir. Sedangkan Shinta Nuriya berpendapat bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Al Quran jika memaknainya dengan tepat. Dan tokoh yang cukup liberal adalah Musdah Mulia, salah seorang tokoh JIL yang berpendapat realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.

Kedua, pandangan yang beranggapan bahwa hijab merupakan bagian dari syariat yang wajib dilaksanakan. KH A Musta’in Syafi’i, pakar dalam bidang tafsir Al-Qur’an di Jawa Timur, berpendapat bahwa jilbab itu berasal dari budaya, tapi sudah ditetapkan menjadi syari’at. Ia lebih melihat sisi aksiologis, di balik pesan nash yang tidak sekedar bertafsir seputar teks, melainkan memperhatikan pula efek hikmah dan tujuan pensyari’atan jilbab atau tutup aurat itu. Jumhur ulama sepakat bahwa seluruh anggota badan wanita yang wajib ditutupi di hadapan lelaki lain adalah aurat wajib untuk ditutupi, kecuali muka dan dua telapak tangan. Kewajiban menutup aurat ini didasarkan surat an-Nur ayat 31.

Meskipun masih diperlukan analisis yang mendalam, dua pandangan yang berbeda ini sedikit banyak telah berdampak pada terbelahnya pandangan masyarakat mengenai hijab. Hal inilah memicu lahirnya kampanye no hijab day ini. Pandangan pertama cenderung tidak menjadikan gerakan kampanye no hijab day sebagai sesuatu yang kontroversial. Sementara pandangan kedua cenderung kontra terhadap gerakan ini dan menganggapnya sebagai salah satu bentuk penolakan terhadap simbol-simbol Islam, penolakan terhadap syariat Islam dan membebaskan Muslimah dari keterikatannya pada syariat dengan tujuan agar Muslimah terbaratkan dengan tampilan yang serba terbuka.

Terlepas dari dua pandangan ini, penulis lebih memahami hijab ini sebagai sarana untuk menutup aurat. Banyak dalil baik Alqur’an maupun hadis yang memerintahkan untuk menutup aurat. Dapat dilihat misalnya QS. An-Nur/24:31, QS. Al-Ahzab/33:59, QS. Al-A’raf/7:31.

Sedangkan HR Imam Muslim yang menjadi dasar sebab turunnya (asbab an-Nuzul QS. Al-A’raf/7:31 disebutkan Ibnu Abbas ra bahwa dahulu para wanita melaksanakan tawaf tidak menggunakan busana. Dengan demikian, budaya atau tradisi berpakaian yang menutup aurat berasal dari Islam.
Pada dasarnya dalil-dalil ini bertujuan untuk menjaga atau melindungi kehormatan perempuan. Apabila berhijab atau jilbab itu merupakan bagian atau tradisi pakaian kesopanan, yang kemudian disimbolkan sebagai wujud kepatuhan hamba untuk melaksanakan perintah Tuhannya, maka kampanye no hijab day ini tidak perlu ada. Jika gerakan ini dikembangkan akan melahirkan produk budaya atau tradisi baru yang didasarkan pada ideologi tertentu. Selain itu, Gerakan ini tidak memberikan ekses yang positif bagi masyarakat, bahkan berdampak pada pembelahan internal muslimah. Allahu a’lam Bissasawab. (*)

Editor: Alfiansyah AnwarOleh : Dr. Rahmawati, M. Ag.

Kaprodi Hukum Keluarga Islam (HKI) Pascasarjana IAIN Parepare

OPINI — Tulisan ini diangkat sebagai tanggapan terhadap maraknya kampanye “No Hijab Day” digelar melalui media sosial. Dengan menetapkan 1 Februari sebagai “Hari Tak Berjilbab”, mereka menamakan dirinya hijrah Indonesia dengan membuat sayembara agar Muslimah rame-rame posting foto tanpa hijab.

Alasannya, membendung Arabisasi, Hijabisasi dan mempertahankan budaya bangsa.

Kampanye “No hijab Day” yang dipelopori oleh Yasmine Mohammad ini, dapat dikatakan gerakan tandingan dengan World Hijab Day (WHD) yang didirikan oleh Nazma Khan pada 2013 di Bronx, New York, Amerika Serikat.

World Hijab Day atau Hari Hijab Dunia adalah acara tahunan yang juga diadakan pada tanggal 1 Februari setiap tahun di 140 negara di seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk mendorong wanita dari semua agama dan latar belakang untuk memakai jilbab.
Dua gerakan yang paradoksal tapi menjadi menarik dan penting didiskusikan karena seruan untuk menjalankan tradisi kegamaan justru lahir dari komunitas dari sebuah negara yang dikenal sekuler dan liberal seperti Amerika serikat, sementara ajakan untuk meninggalkan tradisi keagamaan muncul dari negara mayoritas muslim. Apa yang keliru dengan fenomena ini?

Perlu analisis yang mendalam untuk menjawab persoalan ini. Setidaknya latar belakang dari dua gerakan ini lahir dari konteks yang berbeda. World Hijab Day (WHD) lahir dari perlakuan tidak adil, diskriminatif terhadap muslimah karena hijab yang dikenakannya. Sering dijuluki Batman, Ninja dan bahkan dipanggil Osama (Osama bin Laden).

Untuk mengakhiri perlakuan tersebut Nazma kemudian berinisiatif membuat gerakan sehari berhijab bagi perempuan mana saja. Harapannya, supaya mereka tahu bagaimana rasanya dilecehkan. Gerakan ini mendapat apresiasi luas. Saat ini, sedikitnya 116 negara yang memperingatinya.

Sedangkan gerakan no hijab day lahir dari konteks kebebasan berpikir. Meskipun pada awalnya gerakan ini merupakan wujud pertentangan oleh kaum feminis muslimah di negara-negara Islam terhadap World Hijab Day dengan membuat gerakan tandingan bertajuk #nohijabday, namun gerakan ini telah masuk ke Indonesia. Sebuah Negara berpenduduk mayoritas Islam dan memiliki ragam pemikiran keagamaan dari berbagai kelompok ormas keagamaan.

Makna hijab itu sendiri adalah kain penghalang, penutup atau pemisah wanita agar tidak terlihat oleh laki-laki. Pada masa sekarang sering diidentikkan jilbab, yaitu busana wanita Islam. Sebagian ulama berpendapat, jilbab mempunyai makna pakaian gamis atau pakaian yang lebar. Maksudnya adalah pakaian panjang berbentuk baju kurung yang longgar yang menutupi kepala, dada dan sebagainya (kecuali yang dibolehkan tampak).

Hijab atau jilbab dalam konteks pemikiran keagamaan di Indonesia terbelah menjadi dua. Pertama, pandangan yang beranggapan bahwa hijab merupakan bagian dari budaya dan sebatas identitas keagamaan. Konsekuensi dari pandangan ini membolehkan wanita muslimah tak berjilbab. Artinya, hijab bukanlah sebuah kewajiban. Di antara tokoh yang berpandangan demikian adalah Dr Muhammad Quraisy Shihab dan Shinta Nuriya.

Menurut M Quraisy Shihab, terjadi 3 perbedaan pendapat tentang pakaian wanita muslimah. Pertama, seluruh anggota badan adalah aurat yang mesti ditutupi. Kedua, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Ketiga, cukup dengan pakaian terhormat. Dalam hal ini, Pak Quraish lebih condong pada pendapat yang terakhir. Sedangkan Shinta Nuriya berpendapat bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Al Quran jika memaknainya dengan tepat. Dan tokoh yang cukup liberal adalah Musdah Mulia, salah seorang tokoh JIL yang berpendapat realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.

Kedua, pandangan yang beranggapan bahwa hijab merupakan bagian dari syariat yang wajib dilaksanakan. KH A Musta’in Syafi’i, pakar dalam bidang tafsir Al-Qur’an di Jawa Timur, berpendapat bahwa jilbab itu berasal dari budaya, tapi sudah ditetapkan menjadi syari’at. Ia lebih melihat sisi aksiologis, di balik pesan nash yang tidak sekedar bertafsir seputar teks, melainkan memperhatikan pula efek hikmah dan tujuan pensyari’atan jilbab atau tutup aurat itu. Jumhur ulama sepakat bahwa seluruh anggota badan wanita yang wajib ditutupi di hadapan lelaki lain adalah aurat wajib untuk ditutupi, kecuali muka dan dua telapak tangan. Kewajiban menutup aurat ini didasarkan surat an-Nur ayat 31.

Meskipun masih diperlukan analisis yang mendalam, dua pandangan yang berbeda ini sedikit banyak telah berdampak pada terbelahnya pandangan masyarakat mengenai hijab. Hal inilah memicu lahirnya kampanye no hijab day ini. Pandangan pertama cenderung tidak menjadikan gerakan kampanye no hijab day sebagai sesuatu yang kontroversial. Sementara pandangan kedua cenderung kontra terhadap gerakan ini dan menganggapnya sebagai salah satu bentuk penolakan terhadap simbol-simbol Islam, penolakan terhadap syariat Islam dan membebaskan Muslimah dari keterikatannya pada syariat dengan tujuan agar Muslimah terbaratkan dengan tampilan yang serba terbuka.

Terlepas dari dua pandangan ini, penulis lebih memahami hijab ini sebagai sarana untuk menutup aurat. Banyak dalil baik Alqur’an maupun hadis yang memerintahkan untuk menutup aurat. Dapat dilihat misalnya QS. An-Nur/24:31, QS. Al-Ahzab/33:59, QS. Al-A’raf/7:31.

Sedangkan HR Imam Muslim yang menjadi dasar sebab turunnya (asbab an-Nuzul QS. Al-A’raf/7:31 disebutkan Ibnu Abbas ra bahwa dahulu para wanita melaksanakan tawaf tidak menggunakan busana. Dengan demikian, budaya atau tradisi berpakaian yang menutup aurat berasal dari Islam.
Pada dasarnya dalil-dalil ini bertujuan untuk menjaga atau melindungi kehormatan perempuan. Apabila berhijab atau jilbab itu merupakan bagian atau tradisi pakaian kesopanan, yang kemudian disimbolkan sebagai wujud kepatuhan hamba untuk melaksanakan perintah Tuhannya, maka kampanye no hijab day ini tidak perlu ada. Jika gerakan ini dikembangkan akan melahirkan produk budaya atau tradisi baru yang didasarkan pada ideologi tertentu. Selain itu, Gerakan ini tidak memberikan ekses yang positif bagi masyarakat, bahkan berdampak pada pembelahan internal muslimah. Allahu a’lam Bissasawab. (*)

Editor: Alfiansyah AnwarOleh : Dr. Rahmawati, M. Ag.

Kaprodi Hukum Keluarga Islam (HKI) Pascasarjana IAIN Parepare

OPINI — Tulisan ini diangkat sebagai tanggapan terhadap maraknya kampanye “No Hijab Day” digelar melalui media sosial. Dengan menetapkan 1 Februari sebagai “Hari Tak Berjilbab”, mereka menamakan dirinya hijrah Indonesia dengan membuat sayembara agar Muslimah rame-rame posting foto tanpa hijab.

Alasannya, membendung Arabisasi, Hijabisasi dan mempertahankan budaya bangsa.

Kampanye “No hijab Day” yang dipelopori oleh Yasmine Mohammad ini, dapat dikatakan gerakan tandingan dengan World Hijab Day (WHD) yang didirikan oleh Nazma Khan pada 2013 di Bronx, New York, Amerika Serikat.

World Hijab Day atau Hari Hijab Dunia adalah acara tahunan yang juga diadakan pada tanggal 1 Februari setiap tahun di 140 negara di seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk mendorong wanita dari semua agama dan latar belakang untuk memakai jilbab.
Dua gerakan yang paradoksal tapi menjadi menarik dan penting didiskusikan karena seruan untuk menjalankan tradisi kegamaan justru lahir dari komunitas dari sebuah negara yang dikenal sekuler dan liberal seperti Amerika serikat, sementara ajakan untuk meninggalkan tradisi keagamaan muncul dari negara mayoritas muslim. Apa yang keliru dengan fenomena ini?

Perlu analisis yang mendalam untuk menjawab persoalan ini. Setidaknya latar belakang dari dua gerakan ini lahir dari konteks yang berbeda. World Hijab Day (WHD) lahir dari perlakuan tidak adil, diskriminatif terhadap muslimah karena hijab yang dikenakannya. Sering dijuluki Batman, Ninja dan bahkan dipanggil Osama (Osama bin Laden).

Untuk mengakhiri perlakuan tersebut Nazma kemudian berinisiatif membuat gerakan sehari berhijab bagi perempuan mana saja. Harapannya, supaya mereka tahu bagaimana rasanya dilecehkan. Gerakan ini mendapat apresiasi luas. Saat ini, sedikitnya 116 negara yang memperingatinya.

Sedangkan gerakan no hijab day lahir dari konteks kebebasan berpikir. Meskipun pada awalnya gerakan ini merupakan wujud pertentangan oleh kaum feminis muslimah di negara-negara Islam terhadap World Hijab Day dengan membuat gerakan tandingan bertajuk #nohijabday, namun gerakan ini telah masuk ke Indonesia. Sebuah Negara berpenduduk mayoritas Islam dan memiliki ragam pemikiran keagamaan dari berbagai kelompok ormas keagamaan.

Makna hijab itu sendiri adalah kain penghalang, penutup atau pemisah wanita agar tidak terlihat oleh laki-laki. Pada masa sekarang sering diidentikkan jilbab, yaitu busana wanita Islam. Sebagian ulama berpendapat, jilbab mempunyai makna pakaian gamis atau pakaian yang lebar. Maksudnya adalah pakaian panjang berbentuk baju kurung yang longgar yang menutupi kepala, dada dan sebagainya (kecuali yang dibolehkan tampak).

Hijab atau jilbab dalam konteks pemikiran keagamaan di Indonesia terbelah menjadi dua. Pertama, pandangan yang beranggapan bahwa hijab merupakan bagian dari budaya dan sebatas identitas keagamaan. Konsekuensi dari pandangan ini membolehkan wanita muslimah tak berjilbab. Artinya, hijab bukanlah sebuah kewajiban. Di antara tokoh yang berpandangan demikian adalah Dr Muhammad Quraisy Shihab dan Shinta Nuriya.

Menurut M Quraisy Shihab, terjadi 3 perbedaan pendapat tentang pakaian wanita muslimah. Pertama, seluruh anggota badan adalah aurat yang mesti ditutupi. Kedua, kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Ketiga, cukup dengan pakaian terhormat. Dalam hal ini, Pak Quraish lebih condong pada pendapat yang terakhir. Sedangkan Shinta Nuriya berpendapat bahwa setiap muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Al Quran jika memaknainya dengan tepat. Dan tokoh yang cukup liberal adalah Musdah Mulia, salah seorang tokoh JIL yang berpendapat realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.

Kedua, pandangan yang beranggapan bahwa hijab merupakan bagian dari syariat yang wajib dilaksanakan. KH A Musta’in Syafi’i, pakar dalam bidang tafsir Al-Qur’an di Jawa Timur, berpendapat bahwa jilbab itu berasal dari budaya, tapi sudah ditetapkan menjadi syari’at. Ia lebih melihat sisi aksiologis, di balik pesan nash yang tidak sekedar bertafsir seputar teks, melainkan memperhatikan pula efek hikmah dan tujuan pensyari’atan jilbab atau tutup aurat itu. Jumhur ulama sepakat bahwa seluruh anggota badan wanita yang wajib ditutupi di hadapan lelaki lain adalah aurat wajib untuk ditutupi, kecuali muka dan dua telapak tangan. Kewajiban menutup aurat ini didasarkan surat an-Nur ayat 31.

Meskipun masih diperlukan analisis yang mendalam, dua pandangan yang berbeda ini sedikit banyak telah berdampak pada terbelahnya pandangan masyarakat mengenai hijab. Hal inilah memicu lahirnya kampanye no hijab day ini. Pandangan pertama cenderung tidak menjadikan gerakan kampanye no hijab day sebagai sesuatu yang kontroversial. Sementara pandangan kedua cenderung kontra terhadap gerakan ini dan menganggapnya sebagai salah satu bentuk penolakan terhadap simbol-simbol Islam, penolakan terhadap syariat Islam dan membebaskan Muslimah dari keterikatannya pada syariat dengan tujuan agar Muslimah terbaratkan dengan tampilan yang serba terbuka.

Terlepas dari dua pandangan ini, penulis lebih memahami hijab ini sebagai sarana untuk menutup aurat. Banyak dalil baik Alqur’an maupun hadis yang memerintahkan untuk menutup aurat. Dapat dilihat misalnya QS. An-Nur/24:31, QS. Al-Ahzab/33:59, QS. Al-A’raf/7:31.

Sedangkan HR Imam Muslim yang menjadi dasar sebab turunnya (asbab an-Nuzul QS. Al-A’raf/7:31 disebutkan Ibnu Abbas ra bahwa dahulu para wanita melaksanakan tawaf tidak menggunakan busana. Dengan demikian, budaya atau tradisi berpakaian yang menutup aurat berasal dari Islam.
Pada dasarnya dalil-dalil ini bertujuan untuk menjaga atau melindungi kehormatan perempuan. Apabila berhijab atau jilbab itu merupakan bagian atau tradisi pakaian kesopanan, yang kemudian disimbolkan sebagai wujud kepatuhan hamba untuk melaksanakan perintah Tuhannya, maka kampanye no hijab day ini tidak perlu ada. Jika gerakan ini dikembangkan akan melahirkan produk budaya atau tradisi baru yang didasarkan pada ideologi tertentu. Selain itu, Gerakan ini tidak memberikan ekses yang positif bagi masyarakat, bahkan berdampak pada pembelahan internal muslimah. Allahu a’lam Bissasawab. (*)

Editor: Alfiansyah Anwar

in News
webadmin1 5 February, 2020
Tags
Archive
Sign in to leave a comment