oleh: Ir. Sufyaldy, M.Kom. (Kepala TIPD IAIN Parepare)
Pemilihan umum di Indonesia akan segera digelar tahun depan. Seperti biasanya akan selalu menjadi panggung utama di mana berbagai mitos politik tumbuh subur karena diorkestrasi oleh kelompok dan mahluk politik tertentu. Bagaimana mitos ini terbentuk dan disebarkan? Bagaimana mitos politik dapat memengaruhi pemilih? Dalam era perkembangan teknologi informasi saat ini, bagaimana strategi produksi serta distribusi informasi dapat membantu mengurai mitos politik? Bagaimana melawan penetrasinya yang sangat masif dalam konteks pemilihan umum di Indonesia ?
Mitos sebagai Alat Hegemoni
Mitos politik dapat dilihat sebagai alat hegemoni yang kuat dalam membentuk opini publik dan mempertahankan kekuasaan. Konsep hegemoni yang diperkenalkan oleh Antonio Gramsci, mengacu pada dominasi kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat yang mencapai konsensus dan penerimaan ideologi mereka oleh kelompok lain. Mitos politik menjadi sarana untuk memperkuat hegemoni ini. Sementara konsep bahwa mitos dapat menjadi alat hegemoni terkait erat dengan teori Kritis Budaya, khususnya teori yang dikembangkan oleh para pemikir seperti Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno dari Sekolah Frankfurt. Salah satu karya yang terkenal dari mereka adalah buku "Dialektika Pencerahan" ("Dialectic of Enlightenment").
Dalam teori Kritis Budaya, mitos dianggap sebagai alat untuk mempertahankan dan memperkuat struktur kekuasaan yang dominan dalam masyarakat. Mitos diartikan sebagai narasi atau cerita yang diterapkan untuk melegitimasi kebijakan dan norma-norma yang mendukung kepentingan kelompok yang berkuasa. Mitos dapat membentuk persepsi kolektif masyarakat terhadap kebenaran, keadilan, dan kebijakan tertentu, sementara sebenarnya mereka dapat digunakan untuk menutupi atau membenarkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan.
Dalam konteks ini, mitos dapat dianggap sebagai instrumen hegemoni, yang merujuk pada dominasi budaya dan ideologi oleh kelompok yang berkuasa. Hegemoni melibatkan proses di mana kelompok dominan memimpin dan memperkuat kebijakan, nilai-nilai, dan norma-norma mereka sehingga diterima secara luas oleh masyarakat sebagai sesuatu yang wajar dan alami. Mitos diintegrasikan ke dalam budaya sehari-hari dan dapat memainkan peran kunci dalam mempertahankan ketidaksetaraan sosial.Mitos dapat digunakan untuk memanipulasi persepsi masyarakat, mempertahankan status quo, dan melindungi kepentingan kelompok dominan.
Mitos politik seringkali tidak mendasarkan diri pada fakta atau realitas yang obyektif; sebaliknya, mereka diciptakan untuk membentuk persepsi dan membangun narasi yang menguntungkan. Dalam konteks politik, mitos dapat mencakup citra seorang pemimpin sebagai pahlawan yang tak terkalahkan atau konsep bahwa partai tertentu adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan negara. Mitos semacam itu melayani kepentingan kelompok atau individu tertentu dengan menggambarkan mereka sebagai penjaga kebenaran atau pahlawan rakyat.
Mitos Politik dalam Pemilihan Umum
Indonesia dengan keragaman budaya dan politiknya, menyajikan panggung yang kompleks untuk mitos politik. Pemilihan umum, sebagai wadah perebutan kekuasaan, sering kali diwarnai oleh mitos-mitos yang menciptakan narasi khusus bagi calon pemimpin dan partai politik.
Salah satu mitos yang sering muncul adalah mitos kekuatan karismatik seorang pemimpin. Pemimpin seringkali diromantisasi sebagai sosok yang memiliki kemampuan luar biasa untuk mengubah nasib negara. Seringkali mengesampingkan prinsip-prinsip demokrasi. Mitos ini menciptakan citra pemimpin sebagai figur "Greatman" yang dapat memimpin tanpa batas. Istilah "Great Man" atau "Great Person" sering dikaitkan dengan Thomas Carlyle, yang berpendapat bahwa sejarah dipengaruhi oleh tokoh-tokoh besar atau individu yang memiliki sifat-sifat luar biasa. Menurut teori ini, perubahan besar dalam sejarah tidak terjadi karena kekuatan kolektif atau kondisi sosial, tetapi karena tindakan dan kepemimpinan tokoh-tokoh yang dianggap luar biasa.
Selain itu, mitos ketangguhan partai atau kelompok tertentu dalam menanggulangi masalah ekonomi dan sosial seringkali mengelilingi dan mendominasi wacana pemilihan umum. Para politisi cenderung membangun narasi bahwa hanya partai dan kelompok mereka yang memiliki resep ajaib untuk mengatasi semua persoalan, seolah-olah tanpa mereka tersebut, negara akan hancur.
Perkembangan Teknologi sebagai Alat Pengaruh Baru
Dalam era informasi dan teknologi, mitos politik tidak hanya tumbuh melalui cerita-cerita lisan atau media tradisional, tetapi juga melalui platform-platform digital. Media sosial, sebagai salah satu bentuk teknologi terkini, memainkan peran besar dalam menyebarkan mitos politik dengan cepat dan luas.
Salah satu karakteristik utama media sosial adalah kemampuannya untuk menciptakan filter bubble, di mana pengguna hanya terpapar pada informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri. Ini memperkuat keyakinan dan mitos yang sudah ada, sementara meredam keragaman pandangan dan informasi yang objektif.
Mitigasi terhadap pengaruh mitos politik dalam pemilihan umum di era teknologi digital tidak hanya memerlukan pendekatan konvensional, tetapi juga strategi baru untuk mengatasi tantangan baru yang muncul. Ini melibatkan produksi dan distribusi informasi yang cerdas dan berbasis teknologi.
Strategi Produksi dan Distribusi Cerdas Berbasis IT
Membangun Literasi Digital
Ekosisterm pemilih, terutama yang tumbuh dalam era digital, perlu diberdayakan dengan literasi digital. Program pendidikan yang mengajarkan cara memverifikasi informasi, mengidentifikasi sumber yang dapat dipercaya, dan memahami dampak filter bubble dapat membantu pemilih menjadi lebih kritis dalam mengevaluasi informasi politik yang mereka temui di media sosial.
Kolaborasi dengan Platform Digital
Kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan platform digital menjadi kunci dalam mengatasi penyebaran mitos politik. Menyusun pedoman dan regulasi bersama untuk mencegah penyebaran informasi palsu atau tendensius dapat menjadi langkah awal. Selain itu, platform digital dapat berperan aktif dalam mempromosikan informasi yang faktual dan membendung penyebaran mitos.
Pemanfaatan Teknologi untuk Edukasi Pemilih
Aplikasi dan platform teknologi dapat digunakan untuk menyajikan informasi politik secara interaktif dan mudah dipahami. Misalnya, permainan edukatif, aplikasi fakta politik, dan platform daring yang memfasilitasi diskusi antar-pemilih dapat menjadi alat efektif untuk mengedukasi pemilih dan memecah filter bubble.
Mendorong Transparansi dalam Kampanye Digital
Calon pemimpin dan partai politik perlu mendorong transparansi dalam kampanye digital mereka. Membagikan informasi secara terbuka, memberikan akses kepada pemilih untuk mengajukan pertanyaan langsung, dan melibatkan pemilih dalam proses pengambilan keputusan dapat membantu mengurangi kesan mitos politik yang sering kali dibangun dalam kampanye.
Mengurai Kekusutan Mitos Secara Holistik
Menganalisis mitos politik dalam konteks pemilihan umum di Indonesia memerlukan pendekatan yang komprehensif. Pendekatan ini melibatkan integrasi pemahaman teori mitos sebagai alat hegemoni, mempertimbangkan konteks politik lokal yang unik, dan mengakui dampak perkembangan teknologi. Pentingnya strategi produksi dan distribusi informasi yang cerdas dan berbasis teknologi menjadi jelas dalam membentuk pola pikir pemilih . Pemilih yang kritis, literat, dan mampu membedakan informasi yang faktual dari mitos politik menjadi tujuan utama. Dengan mengadopsi kekuatan teknologi sebagai alat pendukung demokrasi, kita dapat membentuk masyarakat yang lebih informasional, terlibat, dan memiliki kemampuan untuk memilah antara kenyataan politik dan mitos yang sering kali mempengaruhi pandangan politik mereka. Seiring berjalannya waktu, upaya untuk memahami dan mengurai mitos politik dengan pendekatan holistik ini akan membantu menciptakan proses pemilihan umum yang lebih transparan dan memberdayakan masyarakat untuk membuat keputusan politik yang informasional dan berdasarkan fakta.
Bacaan Terkait :
- Horkheimer, M., & Adorno, T. W. (2002). Dialectic of Enlightenment. Stanford University Press.
- Carlyle, T. (1841). On Heroes, Hero-Worship, and the Heroic in History. Chapman & Hall.
- Sunstein, C. R. (2017). Republic: Divided Democracy in the Age of Social Media. Princeton University Press.
- Pariser, E. (2011). The Filter Bubble: How the New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think. Penguin.
- Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. Routledge
- Mietzner, M. (2009). Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation. Institute of Southeast Asian Studies.
- Wahyuningroem, S. (2019). The Rise of Disinformation in Indonesia: The Contestation of Information in the 2019 Presidential Election. Asian Journal of Communication, 29(6), 563-580
- Wijaya, B. S. (2019). Political communication in the age of post-truth: A literature review. Humaniora, 10(2), 101-108.
Pemilu 4.0 : Strategi Digital Mengurai dan Menangkal Mitos Politik