Berbicara tentang Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), tentu tidak semua warga negara paham tentang asal usul Peringatan Harkitnas ini. Ada yang menganggap bahwa Harkitnas sama dengan Hari Kesaktian Pancasila, padahal keduanya memiliki sejarah yang berbeda. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila didasari oleh adanya peristiwa Gerakan 30 September PKI, sementara Peringatan Hari Kebangkitan Nasional merupakan sebuah penanda dari berdirinya sebuah organisasi pendidikan yang dikenal dengan Boedi Oetomo (EYD: Budi Utomo) yang digagas oleh Wahidin Sudirohusodo, dan didirikan oleh dr. Soetomo serta para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) pada tanggal 20 Mei 1908.
Keberadaan Boedi Oetomo merupakan awal mula pergerakan yang dilakukan oleh golongan berpendidikan di Pulau Jawa, dalam perjuangan menggapai kemerdekaan Indonesia. Gerakan ini bertujuan untuk memajukan pengajaran dan kebudayaan serta meninggikan cita-cita kemanusiaan dalam mencapai kehidupan bangsa yang terhormat. Hari Kebangkitan Nasional pertama kali dirayakan pada tanggal 20 Mei 1948 di Yogyakarta, yang pada waktu itu Ki Hadjar Dewantara menjadi Ketua Acara Harkitnas Pertama.
Hari ini kita kembali memperingati Harkitnas yang ke-115, dengan tema yang diusung yaitu “Semangat untuk Bangkit”. Sejalan dengan tema tersebut, dapat diamati pula dalam data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa 9,9 juta Gen Z di Indonesia merupakan pengangguran dan tidak bersekolah. Angka tersebut setara dengan 22,25% dari total penduduk usia muda di Indonesia. Banyak hal yang menjadi penyebab sehingga anak muda masuk ke kelompok tersebut, diantaranya adalah putus asa, disabilitas, akses pendidikan, transportasi, finansial, masalah rumah tangga, dan lainnya. Kita sebagai insan cendekia tentu miris melihat kondisi tersebut. Sebab hal yang paling mengerikan bagi sebuah bangsa, tatkala anak-anak mudanya tidak memiliki semangat untuk bangkit dan semangat meningkatkan kualitas diri dalam menyongsong kehidupan di masa yang akan datang sebagai pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa.
Berada dalam lingkungan akademik tentu menjadi hal utama yang harus dilakukan oleh Civitas Academica. Tindakan tersebut dapat berupa memperbaiki kualitas bangsa, yang dilakukan dengan cara memperbaiki kualitas pendidikan. Terkhusus pada pendidikan tinggi keagamaan, yang jika kita menelisik lebih jauh bagaimana peran pendidikan tinggi keagamaan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia telah jelas digaungkan dalam wujud semangat moderasi beragama yang telah ditetapkan oleh Presiden melalui Perpres Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama.
Harkitnas ini sekaligus menjadi momentum kebangkitan moderasi, di dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Setidak-tidaknya ada tiga macam semangat yang harus dimiliki oleh setiap insan cendekia. Pertama, setiap cendekia wajib menyuarakan semangat persatuan agar masyarakat tidak terpecah belah setelah penyelenggaraan pemilu dan pilpres yang lalu, apalagi November mendatang kita akan kembali merayakan pesta demokrasi yaitu pemilukada serentak.
Kedua, setiap insan cendekia wajib menyuarakan semangat toleransi baik toleransi antarumat beragama, maupun toleransi atas setiap perbedaan pandangan. Hanya dengan saling menghargai dan menghormati, kebersamaan ini dapat terajut meskipun dalam perbedaan.
Ketiga, setiap insan cendekia wajib menyuarakan semangat antikekerasan. Jika kita mengamati dua peristiwa yang sedang viral yaitu peristiwa Fatcat dan Vina, yang walaupun keduanya memiliki perbedaan tetapi juga memiliki kesamaan. Fatcat yang terjadi di Cina didasari oleh adanya kekerasan terhadap diri sendiri, sementara peristiwa Vina di Cirebon didasari adanya kekerasan terhadap orang lain. Meski demikian, keduanya memiliki kesamaan yaitu tidak memiliki semangat antikekerasan sehingga tidak mampu mengelola batin dan hidupnya yang berakhir dengan cara tidak patut.
Saya teringat dengan lirik sebuah lagu dari Ebiet G. Ade, semua yang terjadi di negara kita ini bukanlah hukuman, melainkan sebuah isyarat, “Bahwa kita mesti banyak berbenah”. Pembenahan itu dimulai dari insan cendekia sebagaimana yang telah dilakukan oleh para pendiri Boedi Oetomo ratusan tahun yang lalu. Mari kita renungkan bersama.
Harkitnas: Momentum Menjadi Insan Cendekia yang Moderat