Penulis: Dr. Joni Tapingku, M.Th. (Rektor IAKN Toraja)
Lanjutan Opini sebelumnya
http://www.iainpare.ac.id/moderasi-beragama-sebagai-perekat/
OPINI— Persoalan dan tantangan bangsa Indonesia tidaklah sedikit. Banyak dan kompleks. Tidak mungkin terselesaikan tanpa kolaborasi dan tanpa hadirnya kesatuan dan persatuan di antara segenap anak bangsa; tanpa hadirnya kesatuan hati anak bangsa. Di bawah ini diuraikan sejumlah persoalan dan tantangan yang mengancam persatuan bangsa.
Tantangan Beyond Post-Modern Era
Kita sedang berada di zaman peradaban baru yang didominasi oleh “perang urat saraf”, yaitu melibatkan kekuatan teknologi terbarukan (updating technology). Tentu, teknologi yang terus terbarukan adalah anugerah Allah bagi manusia. Pada satu sisi, dengan adanya temuan dan teknologi yang semakin canggih akan semakin memanjakan dan memudahkan kita melakukan aktivitas dan pelayanan. Sebaliknya, dengan hadirnya teknologi terbarukan tersebut dapat menciptakan persoalan-persoalan baru yang menyeramkam. Inilah yang sedang mengemuka saat ini. Pemanfaatan media sosial yang kuat akan menjadi pemenang, baik dari sisi positif maupus sisi negatifnya. Penguasaan media cetak dan media elektronika yang semakin canggih memberikan referensi bahwa tantangan kita tidaklak sedikit. Teknologi dapat mengangkat derajat kehidupan manusia, tetapi pada saat yang sama pula dapat memusnahkan manusia itu sendiri.
Tantangan Intoleransi
Intoleransi adalah tindakan yang tidak toleran atau tidak memiliki tenggang rasa. Intoleransi ini sering dihubungkan dengan kepercayaan atau praktik agama lain. Dalam beberapa sumber, fakta menyebutkan bahwa tindak intoleransi beragama di Indonesia meningkat. Intoleransi ini sesungg merupakan buah dari kelalaian anak. bangsa untuk menjaga nilai, menjaga panji, menjaga semangat Pancasila yang merupakan buah dari kesepakatan bersama.
Persoalan Korupsi
Dalam berbagai kesempatan disebutkan bahwa korupsi adalah musuh bersama bahkan disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes). Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah, memperberat hukuman, memperkuat KPK, dsb. seakan-akan tidak mempan – tidak menjadi efek jera – bagi para pelakunya. Undang-Undang KPK yang baru yang walaupun telah disahkan oleh DPR/MPR RI tetapi masih meninggalkan persoalan yang perlu dipastikan lebih jauh. Timbulnya protes dari elemen masyarakat dalam pasal-pasal tertentu tidak terlepas dari semangat agar bangsa ini terbebaskan dari cengkeraman korupsi. Hanya saja, dalam berbagai analisis bahwa persoalan kita adalah kompleks. Praktik nepotisme, lemahnya penegakkan hukum, wibawa hukum yang merosot, rendahnya komitmen moral, rendahnya peran hati nurani menjadi pemicu utama terjadinya praktik-praktik korupsi ini. Tidak heran bila Binoto Nadapdap menulis buku dengan judul “Korupsi Belum Ada Matinya”. Kapan matinya? Ini merupakan pertanyaan untuk dijawab oleh seluruh anak bangsa.
Tantangan Radikalisme
Radikalisme pada umumnya diartikan sebagai paham yang menghendaki terjadinya perubahan signifikan dalam bidang politik dan juga sosial. Pendekatan yang dipakai dengan cara ekstrim/kekerasan yang berpotensi terjadinya konflik. Bentuk perwujudan dan gerakan radikalisme bervariasi. Dalam tulisan Ahmad Jainuri dikatakan bahwa radikalisme dari perspektif pemikiran didasarkan pada keyakinan tentang nilai, ide, dan pandangan yang dimiliki oleh seseorang yang dinilainya sebagai yang paling benar dan menganggap yang lain salah. Ia sangat tertutup, biasanya sulit berinteraksi dan hanya saling berbicara dengan kelompoknya sendiri. Orang yang memiliki pandangan seperti ini biasanya tidak menerima pemikiran orang lain, selain pikiran dan kelompoknya sendiri. Otoritas pengetahuan yang dimilikinya dikaitkan dan diperoleh dari figur tertentu yang dinilai tidak dimiliki oleh orang lain. Karena itu, biasanya kaum radikal tidak menerima figur lain sebagai sumber rujukan pengetahuannya. Dalam dialog biasanya ia tidak ingin memahami keanekaragaman pendapat yang dimiliki orang lain, tetapi ingin menyatukan pandangan yang berbeda itu dengan pandangan dan pendapat menurut standar diri sendiri, bahkan dengan memaksakan kehendak. Pada sisi lain, radikalisme tindakan dan gerakan ditandai oleh aksi ekstrem yang harus dilakukan untuk mengubah suatu keadaan seperti yang diinginkan. Contoh dalam bidang politik seperti tindakan makar, revolusi, demonstrasi, dan protes sosial yang anarkis.
Tantangan Terorisme
Achmad Jainuri menulis bahwa istilah teror dan terorisme telah menjadi idiom ilmu sosial yang sangat populer pada dekade 1990-an dan awal 2000-an sebagai bentuk kekerasan atas nama agama. Meskipun sesungguhnya terorisme bukanlah sebuah istilah baru, tetapi teror dan terorisme telah muncul sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Lebih lanjut Jainuri menjelaskan bahwa terorisme bagian dari gerakan radikalisme yang paling mutakhir di abad ini telah mencapai puncak ancaman peradaban. Pada tahun 1980, CIA (Central Intelligence Agency) mendefinisikan terorisme sama dengan ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan politik yang dilakukan oleh individu atau kelompok atas nama atau menentang pemerintah yang sah, dengan menakut-takuti masyarakat yang lebih luas dari pada korban langsung teroris. Tulisan A.M. Hendropriyono tentang terorisme lebih komprehensif. Dalam Bab IV bukunya yang berjudul Terosisme: Fundamentalis Kristen. Yahudi, Islam menyuguhkan informasi dan penilaian terhadap terosisme itu sendiri sebagai ancaman ketahanan di bidang ketahanan politik, pertahanan dan keamanan, serta kemanusiaan. Persoalan terorisme merupakan persoalan yang tidak gampang dipahami. Ada berbagai kisi yang tidak dapat dimengerti. Banyak pakar menyatakan bahwa pemahaman radikalisme yang sebenarnya tidaklah dibentuk oleh sebab yang tunggal tetapi banyak kisi lain yang belum dapat dipahami secara tuntas. Ada misteri (hidden agenda).
Tantangan Kemiskinan
Menurut data dan persentase penduduk miskin di Indonesia per Maret 2017 mencapai 27,77 juta. Secara terperinci disebutkan bahwa angka tersebut bertambah 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,7 juta orang (10,70 persen). Kemiskinan terjadi bukan hanya karena kekurangan sumber daya alam, tetapi juga karena faktor sumber daya manusia yang sangat terbatas dalam pengetahuan dan ketrampilan mengelola sumber daya alam.
Hal ini, tentu menyangkut dimensi pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Karena itu, memang persoalan keindonesiaan kita adalah persoalan kompleks. Dapat dikatakan, kondisi ini telah menahundan terbiarkan selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Indonesia dengan kekayaan alamnya yang luar biasa tetapi masih saja berhadapan dengan kemiskinan. Karena itu, perlu introspeksi diri secara jujur tentang keindonesiaan dan berbenah agar keluar dari petaka kemiskinan.
Tantangan Alzheimer Sejarah
Salah satu pidato kenegaraan Presiden Soekarno yang disampaikan dalam rangka memperingati Ulang Tahun kemerdekaan RI ke-21 Tahun 1966 berjudul “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah” atau yang umumnya dikenal dengan sebutan Jasmerah. Jasmerah ini bersi penuturan data dan fakta-fakta sejarah yang diuraikan secara gamblang. Berisi gagasan dan semangat patriotisme. Berisi awasan dan sekaligus tindakan antisipatif. Berisi semangat juang tanpa pamrih. Berisi ajakan untuk mengisi kemerdekaan tanpa pamrih. Telah 76 tahun Indonesia merdeka ini merupakan momentum untuk mengingat kembali sejarah bangsa yang tertorehkan dalam banyak catatan dan pengalaman.
Tentu, pengalaman selama 76 tahun adalah pengalaman yang penuh makna. Selingan persoalan juga silih berganti yang menjadikannya semakin kuat dan dewasa. Para pejuang dan pendiri bangsa telah rela memberikan segala-galanya. Mereka memberi tanpa merasa berkekurangan. Mereka memberi tidak untuk kepentingan golongan atau kepentingan sektarian. Mereka memberi dengan kepentingan besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan rumah besar kita bernama Indonesia.
Merajut Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Dalam konteks kompleks yang telah dipaparkan di atas, pertanyaan urgen yang mesti kita jawab ialah, bagaimana kita merajut persatuan dan kesatuan bangsa yang sehat, harmonis, dan langgeng? Sebagai sesama anak bangsa, ada beberapa perspektif yang mesti dibangun sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Perlunya Kesadaran Kuat tentang Wawasan Kebangsaan
Seluruh komponen bangsa harus memiliki kesadaran ini, tidak terkecuali seluruh pemeluk agama. Dalam agama Kristen, Alkitab memberi bukti bahwa betapa pentingnya mendukung bangsa dan negara. Semangat kebangsaan ditunjukkan secara terbuka bebera teks Alkitab
Para pendiri bangsa Indonesia (the founding fathers) semula telah menyadari bahwa kenyataan pluralisme bangsa Indonesia dari segi suku, budaya, daerah, dan terutama agama yang d berpotensi melahirkan konflik dan perpecahan yang mengancam keutuhan bangsa. Sesungguhnya kemajemukan adalah kekayaan yang patut disyukuri. Pilar-pilar kebangsaan semestinya dikedepankan karena sudah merupakan konfesi/konsensus bersama dan bersifat final, yaitu: NKRI, UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pendidikan yang Berkarakter
Pendidikan yang berkarakter merupakan upaya sadar yang dilakuakan seseorang atau sekelompok orang untuk menginternalisasikan nilai-nilai pada seseorang yang lain sebagai pencerahan agar peserta didik mengetahui, berfikir, dan bertindak secara bermoral dalam menghadapi setiap situasi. Tujuan dari pendidikan yang berkarakter adalah untu membentuk pribadi seseoranng menjadi manusia yang baik.
Dewasa ini, pendidikan karakter di Indonesia semakin menjadi pusat perhatian dalam dunia pendidikan. Hal ini disebabkan karena penurunan moral para penerus bangsa yang semakin mengkhawatirkan. Tidak sedikit kasus-kasus beredar tentang turunnya moral anak bangsa, mulai dari perlakuan yang tidak sopan kepada guru/dosennya, tawuran, dan tindak asusila. Berbagai masalah inilah yang membuat perhatian pemerintah semakin tertuju pada pendidikan yang berkarakter. Namun usaha yang dilakukan oleh pemerintah terhadap peserta didik sepertinya tidak sejalan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar lingkungannya, terutama di lingkungan sekolah atau kampus. Tidak sedikit tenaga pendidik yang memberikan contoh yang tidak baik kepada peserta didik. Padahal karakter dari seorang tenaga pendidik sangat berperan penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
Jadi tenaga pendidik tidak hanya memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang bagaimana karakter yang baik itu, bagaimana seharusnya kita sebagai manusia itu berperilaku, tapi juga tenaga pendidik harus memberikan contoh yang baik pula kepada peserta didik agar sosialisasi yang diberikan itu dapat berjalan dengan sempurna dan agar pendidikan karakter itu dapat berjalan dengan sempurna pula. Pun peserta didik seharusnya juga harus memiliki kemampuan dalam memfilter mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang tidak baik. Kesimpulannya, tenaga pendidik dan peserta didik harus bekerja sama agar pendidikan karakter di Indonesia berhasil.
Pendidikan Berbasis Keluarga
Salah satu fungsi keluarga dalam perspektif pendidikan adalah sebagai tempat bagi penanaman nilai-nilai positif bagi kehidupan, pengembangan, dan pemantapan keterampilan, tingkah laku dan pengetahuan dalam hubungan dengan fungsi-fungsi lain. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin berperadaban atau tidak mungkin berkebudayaan. Pengetahuan dapat bertambah karena melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal (resmi), informal (keluarga, lingkungan, teladan), maupun non formal (kursus). Melalui pendidikan, manusia bisa mengembankan kemampuan imajinasi menjadi kenyataan.
Mengingat begitu pentingnya pendidikan, melalui jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menekankan tentang tujuan pendidikan. Pada pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Diharapkan melalui rumusan tujuan pendidikan nasional ini memberikan arah bagi pendidikan yang baik dan relevan untuk menjawab kebutuhan konteks Indonesia. Hanya saja, yang terlihat selama ini justru sangat jauh dari cita-cita ideal bangsa. Di mana-mana ditemukan hal-hal yang kontras dengan tujuan pendidikan. Degradasi mentalitas-moralitas-spiritualitas anak bangsa sangat terasa memilukan dan memalukan. Perilaku koruptif di luar aturan main menjadi hal yang seakan-akan dilegitimasi. Semua mengatasnamakan kebenaran dan hukum. Semua mencari pembenaran. Semua mencari kambing hitam, dst.
Penanaman Nilai Pendidikan dalam Konteks Plural
Sebagai bangsa yang kaya raya dengan sumber daya alam tetapi juga kaya raya dari sisi budaya, kesadaran terhadap nilai pendidikan dalam konteks plural perlu digemakan. Salah kesadaran pluralitas keyakinan dibincangkan oleh Julianus Mojau dalam bukunya yang berjudul Meniadakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia. Buku ini, tidak hanya menggumuli tentang tantangan yang kompleks, tetapi juga berbicara tentang kekayaan dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Salah satu tekanan tulisan ini terangkum dalam harapan yang tertuang dalam prakatanya yang menyatakan, “Semoga buku ini akan memberi sumbangan kecil dengan cara terssendiri pada usaha kita bersama memelihara proses menjadi Indonesia dengan semangat kebangsaan emansipatoris dan juga boleh saling menerima perbedaan antarelemen masyarakat (suku, agama, bahasa, dan budaya serta pilihan orientasi ideologi) sebagai fitra-sosiologis-teologis proses menjadi Indonesia. Dengan begitu, hidup damai bukanlah sekadar sebuah retorika, melainkan menjadi praksis hidup bersama”.
Tekanan utama dari pikiran ini adalah: Pertama, perlunya pemeliharaan (perawatan) secara berkesinambungan; Kedua, perlunya semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai/emansipasi ketika berhadapan dengan keragaman/kepelbagaian sebagai kekayaan; Ketiga, perlunya implementasi riil dalam konteks hidup bersama. Di luar kesadaran terhadap nilai-nilai ini akan kacau. Di luar ini akan terganggu.
Penutup
Harus diakui bahwa kita sedang menghadapi berbagai bentuk pertentangan dan konflik – yang datang silih berganti – dengan berbagai wajah dan bentuk. Hal ini terjadi karena banyak faktor, antara lain belum terbiasanya dengan keterbukaan dan perbedaan (pluralitas). Orang juga belum terbiasa dengan perkembangan kemajuan dalam sebuah iklim yang terbuka, demokratis, dan plural. Pada gilirannya, hal ini menimbulkan kecurigaan dan gesekan yang tidak sedikit di antara berbagai elemen masyarakat dan bangsa.
Karakter moderasi beragama meniscayakan adanya keterbukaan, penerimaan, dan kerjasama dari masing-masing kelompok yang berbeda. Karenanya, setiap individu pemeluk agama, apa pun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan pemahaman keagamaan di antara setiap pemeluk agama.
Akhirnya, mari kita senantiasa menyerukan sama seperti seruan Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama pada masanya, bahwa “Beragama hakikatnya berindonesia, dan berindonesia hakikatnya beragama”.Penulis: Dr. Joni Tapingku, M.Th. (Rektor IAKN Toraja)
Lanjutan Opini sebelumnya
http://www.iainpare.ac.id/moderasi-beragama-sebagai-perekat/
OPINI— Persoalan dan tantangan bangsa Indonesia tidaklah sedikit. Banyak dan kompleks. Tidak mungkin terselesaikan tanpa kolaborasi dan tanpa hadirnya kesatuan dan persatuan di antara segenap anak bangsa; tanpa hadirnya kesatuan hati anak bangsa. Di bawah ini diuraikan sejumlah persoalan dan tantangan yang mengancam persatuan bangsa.
Tantangan Beyond Post-Modern Era
Kita sedang berada di zaman peradaban baru yang didominasi oleh “perang urat saraf”, yaitu melibatkan kekuatan teknologi terbarukan (updating technology). Tentu, teknologi yang terus terbarukan adalah anugerah Allah bagi manusia. Pada satu sisi, dengan adanya temuan dan teknologi yang semakin canggih akan semakin memanjakan dan memudahkan kita melakukan aktivitas dan pelayanan. Sebaliknya, dengan hadirnya teknologi terbarukan tersebut dapat menciptakan persoalan-persoalan baru yang menyeramkam. Inilah yang sedang mengemuka saat ini. Pemanfaatan media sosial yang kuat akan menjadi pemenang, baik dari sisi positif maupus sisi negatifnya. Penguasaan media cetak dan media elektronika yang semakin canggih memberikan referensi bahwa tantangan kita tidaklak sedikit. Teknologi dapat mengangkat derajat kehidupan manusia, tetapi pada saat yang sama pula dapat memusnahkan manusia itu sendiri.
Tantangan Intoleransi
Intoleransi adalah tindakan yang tidak toleran atau tidak memiliki tenggang rasa. Intoleransi ini sering dihubungkan dengan kepercayaan atau praktik agama lain. Dalam beberapa sumber, fakta menyebutkan bahwa tindak intoleransi beragama di Indonesia meningkat. Intoleransi ini sesungg merupakan buah dari kelalaian anak. bangsa untuk menjaga nilai, menjaga panji, menjaga semangat Pancasila yang merupakan buah dari kesepakatan bersama.
Persoalan Korupsi
Dalam berbagai kesempatan disebutkan bahwa korupsi adalah musuh bersama bahkan disebut sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crimes). Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah, memperberat hukuman, memperkuat KPK, dsb. seakan-akan tidak mempan – tidak menjadi efek jera – bagi para pelakunya. Undang-Undang KPK yang baru yang walaupun telah disahkan oleh DPR/MPR RI tetapi masih meninggalkan persoalan yang perlu dipastikan lebih jauh. Timbulnya protes dari elemen masyarakat dalam pasal-pasal tertentu tidak terlepas dari semangat agar bangsa ini terbebaskan dari cengkeraman korupsi. Hanya saja, dalam berbagai analisis bahwa persoalan kita adalah kompleks. Praktik nepotisme, lemahnya penegakkan hukum, wibawa hukum yang merosot, rendahnya komitmen moral, rendahnya peran hati nurani menjadi pemicu utama terjadinya praktik-praktik korupsi ini. Tidak heran bila Binoto Nadapdap menulis buku dengan judul “Korupsi Belum Ada Matinya”. Kapan matinya? Ini merupakan pertanyaan untuk dijawab oleh seluruh anak bangsa.
Tantangan Radikalisme
Radikalisme pada umumnya diartikan sebagai paham yang menghendaki terjadinya perubahan signifikan dalam bidang politik dan juga sosial. Pendekatan yang dipakai dengan cara ekstrim/kekerasan yang berpotensi terjadinya konflik. Bentuk perwujudan dan gerakan radikalisme bervariasi. Dalam tulisan Ahmad Jainuri dikatakan bahwa radikalisme dari perspektif pemikiran didasarkan pada keyakinan tentang nilai, ide, dan pandangan yang dimiliki oleh seseorang yang dinilainya sebagai yang paling benar dan menganggap yang lain salah. Ia sangat tertutup, biasanya sulit berinteraksi dan hanya saling berbicara dengan kelompoknya sendiri. Orang yang memiliki pandangan seperti ini biasanya tidak menerima pemikiran orang lain, selain pikiran dan kelompoknya sendiri. Otoritas pengetahuan yang dimilikinya dikaitkan dan diperoleh dari figur tertentu yang dinilai tidak dimiliki oleh orang lain. Karena itu, biasanya kaum radikal tidak menerima figur lain sebagai sumber rujukan pengetahuannya. Dalam dialog biasanya ia tidak ingin memahami keanekaragaman pendapat yang dimiliki orang lain, tetapi ingin menyatukan pandangan yang berbeda itu dengan pandangan dan pendapat menurut standar diri sendiri, bahkan dengan memaksakan kehendak. Pada sisi lain, radikalisme tindakan dan gerakan ditandai oleh aksi ekstrem yang harus dilakukan untuk mengubah suatu keadaan seperti yang diinginkan. Contoh dalam bidang politik seperti tindakan makar, revolusi, demonstrasi, dan protes sosial yang anarkis.
Tantangan Terorisme
Achmad Jainuri menulis bahwa istilah teror dan terorisme telah menjadi idiom ilmu sosial yang sangat populer pada dekade 1990-an dan awal 2000-an sebagai bentuk kekerasan atas nama agama. Meskipun sesungguhnya terorisme bukanlah sebuah istilah baru, tetapi teror dan terorisme telah muncul sepanjang sejarah kehidupan umat manusia. Lebih lanjut Jainuri menjelaskan bahwa terorisme bagian dari gerakan radikalisme yang paling mutakhir di abad ini telah mencapai puncak ancaman peradaban. Pada tahun 1980, CIA (Central Intelligence Agency) mendefinisikan terorisme sama dengan ancaman atau penggunaan kekerasan untuk tujuan politik yang dilakukan oleh individu atau kelompok atas nama atau menentang pemerintah yang sah, dengan menakut-takuti masyarakat yang lebih luas dari pada korban langsung teroris. Tulisan A.M. Hendropriyono tentang terorisme lebih komprehensif. Dalam Bab IV bukunya yang berjudul Terosisme: Fundamentalis Kristen. Yahudi, Islam menyuguhkan informasi dan penilaian terhadap terosisme itu sendiri sebagai ancaman ketahanan di bidang ketahanan politik, pertahanan dan keamanan, serta kemanusiaan. Persoalan terorisme merupakan persoalan yang tidak gampang dipahami. Ada berbagai kisi yang tidak dapat dimengerti. Banyak pakar menyatakan bahwa pemahaman radikalisme yang sebenarnya tidaklah dibentuk oleh sebab yang tunggal tetapi banyak kisi lain yang belum dapat dipahami secara tuntas. Ada misteri (hidden agenda).
Tantangan Kemiskinan
Menurut data dan persentase penduduk miskin di Indonesia per Maret 2017 mencapai 27,77 juta. Secara terperinci disebutkan bahwa angka tersebut bertambah 6,90 ribu orang dibandingkan dengan kondisi September 2016 yang sebesar 27,7 juta orang (10,70 persen). Kemiskinan terjadi bukan hanya karena kekurangan sumber daya alam, tetapi juga karena faktor sumber daya manusia yang sangat terbatas dalam pengetahuan dan ketrampilan mengelola sumber daya alam.
Hal ini, tentu menyangkut dimensi pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Karena itu, memang persoalan keindonesiaan kita adalah persoalan kompleks. Dapat dikatakan, kondisi ini telah menahundan terbiarkan selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Indonesia dengan kekayaan alamnya yang luar biasa tetapi masih saja berhadapan dengan kemiskinan. Karena itu, perlu introspeksi diri secara jujur tentang keindonesiaan dan berbenah agar keluar dari petaka kemiskinan.
Tantangan Alzheimer Sejarah
Salah satu pidato kenegaraan Presiden Soekarno yang disampaikan dalam rangka memperingati Ulang Tahun kemerdekaan RI ke-21 Tahun 1966 berjudul “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah” atau yang umumnya dikenal dengan sebutan Jasmerah. Jasmerah ini bersi penuturan data dan fakta-fakta sejarah yang diuraikan secara gamblang. Berisi gagasan dan semangat patriotisme. Berisi awasan dan sekaligus tindakan antisipatif. Berisi semangat juang tanpa pamrih. Berisi ajakan untuk mengisi kemerdekaan tanpa pamrih. Telah 76 tahun Indonesia merdeka ini merupakan momentum untuk mengingat kembali sejarah bangsa yang tertorehkan dalam banyak catatan dan pengalaman.
Tentu, pengalaman selama 76 tahun adalah pengalaman yang penuh makna. Selingan persoalan juga silih berganti yang menjadikannya semakin kuat dan dewasa. Para pejuang dan pendiri bangsa telah rela memberikan segala-galanya. Mereka memberi tanpa merasa berkekurangan. Mereka memberi tidak untuk kepentingan golongan atau kepentingan sektarian. Mereka memberi dengan kepentingan besar, yaitu kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan rumah besar kita bernama Indonesia.
Merajut Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Dalam konteks kompleks yang telah dipaparkan di atas, pertanyaan urgen yang mesti kita jawab ialah, bagaimana kita merajut persatuan dan kesatuan bangsa yang sehat, harmonis, dan langgeng? Sebagai sesama anak bangsa, ada beberapa perspektif yang mesti dibangun sebagaimana diuraikan di bawah ini.
Perlunya Kesadaran Kuat tentang Wawasan Kebangsaan
Seluruh komponen bangsa harus memiliki kesadaran ini, tidak terkecuali seluruh pemeluk agama. Dalam agama Kristen, Alkitab memberi bukti bahwa betapa pentingnya mendukung bangsa dan negara. Semangat kebangsaan ditunjukkan secara terbuka bebera teks Alkitab
Para pendiri bangsa Indonesia (the founding fathers) semula telah menyadari bahwa kenyataan pluralisme bangsa Indonesia dari segi suku, budaya, daerah, dan terutama agama yang d berpotensi melahirkan konflik dan perpecahan yang mengancam keutuhan bangsa. Sesungguhnya kemajemukan adalah kekayaan yang patut disyukuri. Pilar-pilar kebangsaan semestinya dikedepankan karena sudah merupakan konfesi/konsensus bersama dan bersifat final, yaitu: NKRI, UUD 1945, Pancasila, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pendidikan yang Berkarakter
Pendidikan yang berkarakter merupakan upaya sadar yang dilakuakan seseorang atau sekelompok orang untuk menginternalisasikan nilai-nilai pada seseorang yang lain sebagai pencerahan agar peserta didik mengetahui, berfikir, dan bertindak secara bermoral dalam menghadapi setiap situasi. Tujuan dari pendidikan yang berkarakter adalah untu membentuk pribadi seseoranng menjadi manusia yang baik.
Dewasa ini, pendidikan karakter di Indonesia semakin menjadi pusat perhatian dalam dunia pendidikan. Hal ini disebabkan karena penurunan moral para penerus bangsa yang semakin mengkhawatirkan. Tidak sedikit kasus-kasus beredar tentang turunnya moral anak bangsa, mulai dari perlakuan yang tidak sopan kepada guru/dosennya, tawuran, dan tindak asusila. Berbagai masalah inilah yang membuat perhatian pemerintah semakin tertuju pada pendidikan yang berkarakter. Namun usaha yang dilakukan oleh pemerintah terhadap peserta didik sepertinya tidak sejalan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar lingkungannya, terutama di lingkungan sekolah atau kampus. Tidak sedikit tenaga pendidik yang memberikan contoh yang tidak baik kepada peserta didik. Padahal karakter dari seorang tenaga pendidik sangat berperan penting dalam pembentukan karakter seorang anak.
Jadi tenaga pendidik tidak hanya memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang bagaimana karakter yang baik itu, bagaimana seharusnya kita sebagai manusia itu berperilaku, tapi juga tenaga pendidik harus memberikan contoh yang baik pula kepada peserta didik agar sosialisasi yang diberikan itu dapat berjalan dengan sempurna dan agar pendidikan karakter itu dapat berjalan dengan sempurna pula. Pun peserta didik seharusnya juga harus memiliki kemampuan dalam memfilter mana perilaku yang baik dan mana perilaku yang tidak baik. Kesimpulannya, tenaga pendidik dan peserta didik harus bekerja sama agar pendidikan karakter di Indonesia berhasil.
Pendidikan Berbasis Keluarga
Salah satu fungsi keluarga dalam perspektif pendidikan adalah sebagai tempat bagi penanaman nilai-nilai positif bagi kehidupan, pengembangan, dan pemantapan keterampilan, tingkah laku dan pengetahuan dalam hubungan dengan fungsi-fungsi lain. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan, manusia tidak mungkin berperadaban atau tidak mungkin berkebudayaan. Pengetahuan dapat bertambah karena melalui proses pendidikan, baik pendidikan formal (resmi), informal (keluarga, lingkungan, teladan), maupun non formal (kursus). Melalui pendidikan, manusia bisa mengembankan kemampuan imajinasi menjadi kenyataan.
Mengingat begitu pentingnya pendidikan, melalui jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 yang menekankan tentang tujuan pendidikan. Pada pasal 3 menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Diharapkan melalui rumusan tujuan pendidikan nasional ini memberikan arah bagi pendidikan yang baik dan relevan untuk menjawab kebutuhan konteks Indonesia. Hanya saja, yang terlihat selama ini justru sangat jauh dari cita-cita ideal bangsa. Di mana-mana ditemukan hal-hal yang kontras dengan tujuan pendidikan. Degradasi mentalitas-moralitas-spiritualitas anak bangsa sangat terasa memilukan dan memalukan. Perilaku koruptif di luar aturan main menjadi hal yang seakan-akan dilegitimasi. Semua mengatasnamakan kebenaran dan hukum. Semua mencari pembenaran. Semua mencari kambing hitam, dst.
Penanaman Nilai Pendidikan dalam Konteks Plural
Sebagai bangsa yang kaya raya dengan sumber daya alam tetapi juga kaya raya dari sisi budaya, kesadaran terhadap nilai pendidikan dalam konteks plural perlu digemakan. Salah kesadaran pluralitas keyakinan dibincangkan oleh Julianus Mojau dalam bukunya yang berjudul Meniadakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia. Buku ini, tidak hanya menggumuli tentang tantangan yang kompleks, tetapi juga berbicara tentang kekayaan dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Salah satu tekanan tulisan ini terangkum dalam harapan yang tertuang dalam prakatanya yang menyatakan, “Semoga buku ini akan memberi sumbangan kecil dengan cara terssendiri pada usaha kita bersama memelihara proses menjadi Indonesia dengan semangat kebangsaan emansipatoris dan juga boleh saling menerima perbedaan antarelemen masyarakat (suku, agama, bahasa, dan budaya serta pilihan orientasi ideologi) sebagai fitra-sosiologis-teologis proses menjadi Indonesia. Dengan begitu, hidup damai bukanlah sekadar sebuah retorika, melainkan menjadi praksis hidup bersama”.
Tekanan utama dari pikiran ini adalah: Pertama, perlunya pemeliharaan (perawatan) secara berkesinambungan; Kedua, perlunya semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai/emansipasi ketika berhadapan dengan keragaman/kepelbagaian sebagai kekayaan; Ketiga, perlunya implementasi riil dalam konteks hidup bersama. Di luar kesadaran terhadap nilai-nilai ini akan kacau. Di luar ini akan terganggu.
Penutup
Harus diakui bahwa kita sedang menghadapi berbagai bentuk pertentangan dan konflik – yang datang silih berganti – dengan berbagai wajah dan bentuk. Hal ini terjadi karena banyak faktor, antara lain belum terbiasanya dengan keterbukaan dan perbedaan (pluralitas). Orang juga belum terbiasa dengan perkembangan kemajuan dalam sebuah iklim yang terbuka, demokratis, dan plural. Pada gilirannya, hal ini menimbulkan kecurigaan dan gesekan yang tidak sedikit di antara berbagai elemen masyarakat dan bangsa.
Karakter moderasi beragama meniscayakan adanya keterbukaan, penerimaan, dan kerjasama dari masing-masing kelompok yang berbeda. Karenanya, setiap individu pemeluk agama, apa pun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan pemahaman keagamaan di antara setiap pemeluk agama.
Akhirnya, mari kita senantiasa menyerukan sama seperti seruan Lukman Hakim Saifuddin, Menteri Agama pada masanya, bahwa “Beragama hakikatnya berindonesia, dan berindonesia hakikatnya beragama”.
15 سبتمبر, 2021
بواسطة
لا توجد تعليقات بعد
webadmin1
في أخبار
تسجيل الدخول حتى تترك تعليقاً
Read Next
Ikuti Workshop, Eksis Jadi Jurnalis
OPINI: Tantangan-Tantangan Persatuan Bangsa