Oleh: Mahyuddin
OPINI— Childfree merupakan sebuah diskursus yang mewarnai lanskap dunia maya tanah air. Hal ini ditandai dengan tagar childfree trending di media sosial. Pemicu viralnya pendiskusian istilah ini di banyak kalangan (akademisi, agamawan, ahli parenting dan aktivis perempuan) lantaran masifnya gagasan kaum perempuan memutuskan untuk tidak memiliki keturunan alias childfree. Walhasil, istilah childfree semakin populer saja, terutama di kalangan generasi millenial.
Fenomena ini, sesungguhnya bukanlah fenomena baru. Ya, jauh sebelum istilah ini booming, childfree telah menjelma menjadi fenomena umum di negara-negara barat. Tak pelak, fenomena childfree sejak tahun 1970-an telah menjadi perbincangan dalam studi berbagai disiplin ilmu mulai dari sosiologi, psikologi, biologi, hingga ekonomi.
Dalam berbagai studi disebutkan bahwa bagi pendukung childfree, di antara yang mendorong keputusan seseorang untuk tidak memiliki anak ialah, dalam rangka mencapai keadilan gender dan orientasi karier kaum perempuan. Secara keseluruhan, para peneliti telah mengobservasi bahwa para pasangan yang memilih childfree lebih berpendidikan. Mungkin karena hal ini, mereka cenderung ingin dipekerjakan dalam bidang manajemen dan profesional, pada kedua belah pihak atau pasangan untuk mendapatkan penghasilan yang tinggi dan untuk tinggal di area urban (Doyle et al, 2013, Clarke, Victoria, et al, 2018)
Di sisi lain, alasan ekonomi menjadi faktor dominan untuk tidak memiliki anak karena anak seringkali dianggap akan menambah beban bagi keluarga. Dengan kata lain, beberapa orang memiliki kekhawatiran tidak akan bisa memenuhi biaya hidup anak kelak. Sedangkan yang lainnya merasa bahwa anak hanya akan menjadi beban yang menghambat kesuksesan kariernya.
Istilah childfree dalam era masyarakat kontemporer saat ini semakin menggeliat, terutama di kalangan generasi muda. Peran sentral perempuan di ranah keluarga terutama sebagai pusat reproduksi yang telah melembaga secara historis dan tradisional di sekitar keibuan, mulai tergerus lantaran maraknya wacana childfree. Sadar atau tidak kampanye childfree memang semakin menggeliat di dunia kehidupan masyarakat termasuk di Indonesia yang akhir-akhir ini marak terjadi yakni berkembang wacana umum di kalangan wanita untuk tetap tanpa anak / bebas anak.
Menarik untuk membaca ulang fenomena childfree di Peringatan Hari Ibu (PHI) ini. Betapa tidak, PHI yang dirayakan saban tahun, tentu bertolak belakang dengan gambaran ideal menjadi ibu dalam keluarga. Ya, berawal dari ibu-lah (tanpa mengucilkan peran ayah) generasi peradaban ini tetap berjalan. Sangat disadari bahwa perempuan masih memengang porsi yang paling dominan dalam hal pengasuhan anak yang akan melahirkan generasi hebat. Lalu apa masalahnya dengan pilihan childfree?
Refleksi di Momentum Peringatan Hari Ibu
Membaca childfree dalam kaca mata sosiologi, fenomena ini melahirkan perbenturan nilai dan norma masyarakat. Meminjam pandangan Akbar Nursidik (2021), bahwa childfree berpotensi besar merusak bahkan menghancurkan ketahanan keluarga. Hal ini tanpa alasan, sebab keluarga merupakan unit terkecil dalam sistem sosial masyarakat yang bertanggung jawab mewujudkan peradaban umat manusia terus berjalan. Keluarga juga menjadi penentu utama baik atau buruknya kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, ketahanan (keberlangsungan) keluarga harus terlindungi (juga melindungi). Salah satu caranya adalah dengan memiliki anak (keturunan).
Menurut hemat penulis, memilih untuk tidak memiliki…. (Next Page 2)
24 ديسمبر, 2021
بواسطة
لا توجد تعليقات بعد
webadmin1
في أخبار
تسجيل الدخول حتى تترك تعليقاً
Childfree dan Peran Publik Agama: Refleksi Hari Ibu